11.18.2012

Being a Single...



Sudah lima tahun terakhir ini Tika Raharja tinggal bersama anak semata wayangnya dari hasil pernikahan dengan Hasyim. Ia memilih berpisah dari suamin setelah pernikahannya menginjak tahun ketujuh. Ketidak cocokan menjadi alasan Tika.

Sebagai orang tua tunggal, ia pun mengatur segalanya seorang diri.  Mencari nafkah sekaligus membesarkan dan mendidik anaknya. “Saya harus mengatur waktu untuk pekerjaan, anak bahkan mengatasi persoalan di kantor.”

Sejak berpisah, wanita mandiri itu mantap untuk fokus pada anak dan pekerjaannya. Tak heran jika ia tak kunjung mencari pengganti. “Tidak masalah, apalagi keluarga besar juga mendukung,” ucap staf di sebuah perusahaan konsultan asing ini dengan santai.

Terlepas dari penyebabnya. Tak hanya Tika, banyak diantara  perempauan atau laki-laki kini justru memilih untuk tidak terikat kembali pada pernikahan atau pasangan dan berperan sebagai orang tua tunggal (single parent). 

Membesarkan anak sendirian tanpa bantuan pasangan pastilah bukan sesuatu hal yang mudah. Apalagi Kesibukan pekerjaan seringkali memperngaruhi kehidupan pribadi. Belum lagi pada umumnya persektif masyarakat terhadap orangtua tunggal hanya mengukur dari suatu status. Meski ini banyak terjadi di di kota besar. Namun hal ini bukan berarti orang tua tunggal tak mampu berkarir dan membesarkan anaknya dengan baik. “Bagi saya menjadi single parent terkadang suatu pilihan,” Lanjut Tika.

Menurut Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria, menjadi orangtua tunggal sebenarnya bukanlah pilihan tapi bagian episode kehidupan yang harus dijalani dan dihadapi. Karena itu banyak yang kemudian bisa menikmati status itu sebagai anugerah.“Status orangtua tunggal adalah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa saja. Mungkin, hanya orang-orang kuat dan istimewa yang bisa menerima dan menjalani.”

Tapi perlu diingat bahwa orangtua tunggal itu bukan berarti menjalani peran ganda. Karena tidak akan pernah mampu menggantikan sosok seseorang secara fisik. Misalnya, laki-laki (ayah) tidak akan pernah menjadi sosok ibu. Pun sebaliknya.

Anak tidak butuh sosok ayah atau ibu, melainkan figur ayah atau ibu. Sosok adalah fisik. Sedangkan figur adalah peran dan fungsi sosok itu. Maka, orangtua tunggal harus beradaptasi dengan peran dan fungsi sosok pasangan.“ Figur ibu itu pusat rasa nyaman, menyediakan kebutuhan, memenuhi afeksi  berupa perhatian, sentuhan, pelukan. Sedang figur ayah, pusat rasa aman, seperti peduli, percaya, disiplin, dan lain-lain,”imbuhnya.

Anggia menambahkan, upaya itu dilakukan agar tetap bisa berbahagia dan jauh dari depresi. Bisa  berperan maksimal sebagai orangtua bagi anaknya. Dan anak menerima kondisi itu dengan riang.
Karena itu, bersama pendamping hidup ataupun tidak (single parent) yang harus ada dalam diri adalah pola pikir dan pola sikap untuk menentukan kebahagiaan.  “Hidup adalah pilihan. Ketika tiba-tiba menjadi orangtua tunggal  dan menjadi sendiri lagi dengan anak, pilihan yang ada adalah depresi atau bahagia. Karena pilihan ada di tangan kita, ya, pilihlah bahagia.”

Dengan kata lain, tidak ada orang lain yang bisa membuat bahagia. Baik itu pasangan hidup, sahabat, uang, hobi, kecantikan atau sesukses apa hidup kita. Karena yang bisa membuat diri kita bahagia adalah diri sendiri. 

Noni Arnee

Tidak ada komentar: