10.25.2010

"Kebebasan" Itu Memunculkan Konflik

Baru seumur jagung mimpi gadis keturunan Belgia Aurelie Moeremans (17) menjadi aktris, kini gadis itu sering menghiasi layar kaca karena pemberitaan miring. Ia ”tersandung” perselisihan dengan ibu kandungnya Sri Sunarti.

Bahkan ia nekad mengadu ke kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena merasa ”dikekang” dan dilarang pacaran dengan Robby Tremonti, pria yang berusia11 tahun lebih tua darinya.

”Aku terlalu sering diatur. Sebagai anak yang menginjak dewasa, aku tidak ingin di kekang,” tutur bintang film D’Love itu.

Kehidupan glamor dan pergaulan di dunia selebritis yang dia lakoni merasa ”diganggu” ibundanya. Namun, tidak hanya Aurelie yang ”berteriak”. Sang kekasih pun cawe-cawe memojokkan sang ibu.

Kebebasan yang diinginkan Aurelie pun harus dibayar mahal. Hubungan ibu-anak ini menjadi tidak harmonis. ”Dulu aku suka curhat dengan ibu. Tapi sekarang sudah enggak lagi. Sudah menjauh dan aku lebih suka tinggal di apartemen,” tutur dara yang merasa sudah cukup dewasa dan layak berpacaran ini.

Meski mengaku tertekan, hati kecil Aurelie menyadari bahwa tindakan orang tuanya dilakukan demi kebaikannya.

Setali tiga uang dengan Aurelie, aktris belia Arumi Bachsin (16) juga pernah melakukan hal yang sama. Dara keturunan Belanda-Palembang sempat ditampung di Komnas Perlindungan Anak dan bermalam di Polres Jakarta Selatan. Ia ”kabur” dari rumah lantaran Maria Lilian Pesch melarangnya berpacaran.

Sebagai ibu, Maria memang memberikan aturan yang telah disepakati Arumi. ”Saya kira setiap keluarga mempunyai aturan. Kalau kami minta Arumi untuk pacaran saat usianya lebih 17 tahun, saya pikir itu lumrah dan wajar. Arumi juga menyepakatinya,” ungkap
nya.

Menurut ibundanya, meskipun Arumi sudah dewasa dan mempunyai manajer sendiri, bukan berarti sang mama cuek saja. “Aku tidak melepas Arumi. Saya juga manajer Arumi selamanya karena aku mamanya, dia anak perempuanku,“ imbuhnya.
Mari kita longok Pasal 1 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak: “bahwa anak adalah seseorang yang belum genap berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.“

Jadi, Aurelie Moremans dan Arumi Bachsin masih tergolong anak di bawah umur.
Rupanya Aurelie tak sabar menggapai “kebebasan“ yang diinginkan. Berbeda dengan Arumi yang kemudian mengaku mendapat pelajaran berharga selama berselisih paham dengan ibunya. “Sudah sadar, menurut aku semua itu ada saatnya,“ ujar Arumi.

***
KONFLIK anak dan orang tua seperti yang dialami Aurelie Moremans dan Arumi Bachsin hanyalah contoh kecil konflik yang terjadi dibanyak keluarga. Menurut psikolog, Lita Widyo Hastuti SPsi MSi, hal itu terjadi karena adanya pergeseran pola asuh orang tua terhadap anak. Pada beberapa dekade lalu, anak masih cenderung mengikuti dan patuh dengan pola asuh orang tua. Namun seiring dengan waktu dan pesatnya perkembangan teknologi infomasi, muncul fenomena bahwa anak zaman sekarang mempunyai keberanian untuk menunjukkan keinginannya. Anak mulai menganggap bahwa orang tua tidak selalu benar sehingga mempunyai keinginan untuk melawan. Kondisi ini juga didukung oleh pola asuh orang tua yang lebih modern dan membebaskan anak.

“Dulu budi pekerti masih cukup kental diajarkan anak-anak, tapi di era globalisasi pelan-pelan hilang. Apalagi bersosialisasi dan bergaul dengan dunia luar sehingga anak lebih bisa menyatakan ekspresinya atau keinginannya. Dulu tidak seperti itu.”

Dosen pengajar Pendidikan Seksualitas, Psikologi Perkembangan, Psikologi Keluarga, dan Diagnosa dan Terapi Remaja Unika Soegijapranata Semarang ini menilai bahwa konflik antara orang tua dengan anak khususnya anak yang menginjak remaja, sebenarnya merupakan hal yang lumrah terjadi di mana pun. Bahkan semua konflik yang terjadi antara kedua belah pihak ini tidak selamanya mengakibatkan atau mempunyai sisi negatif.

”Bisa positif karena anak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya kepada orang tua. Namun kadarnya sedapat mungkin dijaga supaya tidak berlebihan dan tidak merugikan kedua belah pihak. Konflik pasti muncul, sudah seperti hukum alam.
Karena itu konflik sebaiknya dikelola menjadi sesuatu yang lebih dinamis,” ungkap Lita.

Pada umumnya, anak ”berseberangan” dengan orang tua terjadi ketika anak memasuki masa puber. Pada masa itu emosi anak menjadi lebih rentan dan tidak terkontrol. “Anak sering melihat dari `kacamatanya' sendiri dan orang tua melihat `kau ini anakku'. Dari situlah muncul ketidaksepahaman yang mengakibatkan konflik.“

***
JADI, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan orang tua untuk mempererat hubungan dengan anak. Yang pertama dengan melatih kepekaan anak untuk berempati terhadap orang lain. “Anak bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.“
Kedua, melibatkan anak dalam aktivitas orang tua melalui pembiasaan-pembiasaan kecil agar muncul kebersamaan. “Misalnya, orang tua sedang repot maka si anak diajarkan untuk bersedia membantu.“

Cara lain yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan “memasuki“ dunia anaknya, tanpa bertindak sebagai pengontrol. “Coba masuk ke dunianya, misalnya dengan menanyakan aktivitas anak tanpa bermaksud menyelidik atau mendikte dan membuat anak merasa tidak nyaman.“

Lita mengakui, bahwa sebagian besar kasus pertikaian yang terjadi antara anak dan orang tua sangat sulit diselesaikan karena kedua belah pihak lebih menonjolkan egonya dan tidak ada mediator yang membantu menyelesaikan konflik mereka.
“Mediator membantu berbicara secara personal dengan keduanya untuk memberikan pemahaman dan menurunkan ego.
Caranya bisa dengan mengingatkan hal-hal atau momen berharga di antara mereka.“
Selain itu, agar pola asuh lebih fleksibel, Lita juga menganjurkan agar orang tua menerapkan pola layang-layang. “Tarik-ulur".Dilepas tapi suatu saat ketika diperlukan harus ditarik. Jadi, ada batas untuk si anak mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.“

Pendidikan budi pekerti untuk membangun karakter (character building) anak juga mutlak diperlukan. Sejumlah sekolah internasional dan sekolah terpadu sudah menerapkan hal itu dalam kurikulum sekolah.

Namun lanjut Lita, pelajaran budi pekerti dalam kurikulum sekolah tidak terlalu penting, karena percuma kalau pelajaran budi pekerti diajarkan namun hanya menghasilkan angka-angka.

“Budi pekerti percuma kalau disampaikan hanya dalam wujud kognitif. Yang terpenting penerapannya. Orang tua dan guru satu sama lain secara tidak langsung harus menunjukkan pesan moral ke dalam pelajaran atau kehidupan sehari-hari karena mereka sudah dianggap sebagai role model atau contoh langsung yang bisa dilihat anak.“(62)

NONI ARNEE

Bebrayan 031010

10.11.2010

Di Balik Kelezatan Masakan Ibu

Di Restoran mana kamu bisa menemukan makanan paling lezat? Di mal mana kamu bisa menemukan food court dengan aneka makanan yang menggugah selera?
Jika pertanyaan itu dilontarkan kepada orang yang setia dengan masakan rumah, pasti mereka mempunyai satu tempat istimewa. Ya, di dapur rumah, dengan koki paling hebat, yaitu ibu. Salah satunya, Aryo Kuncoro (32), seorang karyawan swasta di perusahaan ternama di Semarang.

Tak bisa menikmati masakan ibunya dalam waktu yang lama membuat Aryo sering tak punya nafsu makan. Ia hanya makan untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Maklum sudah tiga bulan ia tak pulang ke rumah ibunya di Solo. Ia paling sering teringan mangut ayam racikan ibunya.

”Wah..kalau membayangkan mangut buatan ibu, rasanya jadi ingin pulang. Aku sudah coba kemana-mana, tapi tidak ada yang selezat masakan ibu,” kata Aryo memuji menu favorit yang selalu dihidangkan tiap kali Aryo mudik.

Bahkan saking sukanya dengan masakan sang ibunda, tak jarang Aryo membawa mangut ayamnya itu ketika kembali ke Semarang. ”Biasanya pesen ibu untuk masak lebih banyak, buat ”sangu” ke Semarang. Nanti kalau makan tinggal ”dipanasi” saja,” tambahnya sambil tersipu. Kadang, tanpa dimintapun, ibunya telah menyiapkan dalam rantang khusus itu untuk dia bawa.

Adakalanya ketika hidup dirantau seperti Aryo, perasaan rindu masakan dirumah sendiri selalu membayangi. Apalagi ketika membayangkan betapa lezatnya masakan ibu dirumah.

Tidak hanya Aryo yang begitu ”menggilai” masakan ibu. Robi Maulana (30) yang dua tahun terakhir ini bekerja di Semarang pun harus rela ulang alik dari tempat tinggalnya di Salatiga ke tempat kerja.
Robi mengaku sering ”bermasalah” dengan makanan warungan yang dia santap, sehingga ia lebih memilih tinggal bersama sang ibundanya daripada kos.
”Alasan perutlah, lidah saya tidak cocok makan di sembarang tempat. Mungkin terlalu cinta dengan masakan ibu,” ujar Robi sambil tertawa.

Kebiasaan selalu menyantap masakan ibundanya inilah yang membuatnya sensitif dengan makanan. ” Aku memilih tinggal dirumah. Selain lebih aman, masakan itu ibu the best- lah,” tambah Robi.
Robi menganggap, dari semua masakan di bumi ini, ia paling suka dengan masakan ibunya. Apalagi ketika membayangkan ibundanya meracik bumbunya dengan penuh kelembutan dan senyuman. ibu memasaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang kepadan anak tunggalnya. Mungkin ini yang membuat Robi selalu ketagihan masakan ibundanya.

***

Bagi sebagian orang, makanan masakan ibu memang tak ada duanya. Dengan rasa apapun, kenikmatan menyantap makanan itu selalu terasa berbeda. Apalagi ketika hidup dirantau orang, walau tersebar banyak makanan, tetep perasaan rindu masakan dirumah sendiri selalu membayangi. Tak cukup membayangkan betapa gurihnya masakan sang Bunda tercinta dirumah.

Psikolog, Dr. Endang Widyorini, Psi, menilai, ungkapan perasaan Aryo yang selalu kangen dengan mangut ayam ibunya, menjadi sesuatu hal yang wajar. Itu merupakan salah satu bentuk kehangatan masa lalu yang didapat hingga sekarang dari seorang ibu. ”Itu wajar dan banyak orang merasakan hal itu, apalagi ketika jauh dari orangtua.”

Hal ini terjadi karena menurutnya, selama perkembangan si anak, seorang ibu lebih banyak berperan dibandingkan ayah. Ibu lah yang memenuhi kebutuhan dari kebutuhan primer, sekunder, fisik, psiologis. Sehingga hubungan ini lah yang terjaga sejak anak kecil hingga tumbuh dewasa.
”Sejak kecil ibu mengurus anaknya, memberinya makanan dan mencukupi semua hampir kebutuhan emosional anak. Saat ibu memasak makanan anak-anaknya, ibu melakukannya dengan rasa cinta dan sepenuh hati. ibu memakai resep, bumbu yang tak dijual di toko manapun. Bumbu itu bernama bumbu cinta,” imbuh Ketua Program Magister Psikologi Unika Soegijapranata Semarang itu.

Lanjut Endang, bahwa rasa kangen Aryo dengan mangut ayam ibu, itu salah satu bentuk kehangatan yang didapatnya dari ibu. ”Pulang ke rumah makan mangut bikinan ibu itu beda, ada suasana menghangatkan yang didapat, rasa kasih sayang ke ibu.”

Terkadang tidak bisa dipungkiri, hubungan antara anak laki-laki dan ibu biasanya memang lebih erat dan sayang dibandingkan hubungan antara anak perempuan dengan sang bunda.
Bagi seorang anak, ibu berfungsi sebagai pemberi kasih sayang primer, sekunder, dan psikologis. ”Sementara figur ayah hanya menjadi model bagaimana anak berhubungan dengan dunia luar, tidak secara emosional.”

Endang menambahkan, jika kondisi atau perasaan ketergantungan mencari kehangatan kash sayang seorang ibu masih dalam batas normal, hal itu justru menunjukkan hal yang positif.
”Itu bagus kalau hubungannya sehat, artinya ketika pada saat tertentu masih bisa melihat hubungan antara ibu dan anak masih secara obyektif bahwa nantinya akan mempengaruhi sisi psikologis anak. Misalnya, jika nantinya menuju jenjang pernikahan, laki-laki bisa lebih menghargai istrinya.”

Ketulusan ibu untuk membuat hubungan yang akrab akan menjaga perilaku anak lakinya tetap lurus dan terkendali saat ia dewasa.Tapi ketika perilaku itu berlebihan, justru akan berdampak negatif. ”Banyak kasus penyimpangan kejiwaan karena perlakuan yang berlebihan. Misalnya tidak hanya mencintai masakan ibu, tapi juga memposisikan ibu sebagai sosok yang segala-galanya.Perilaku negatif akan muncul, seperti Oedipus Complex, anak laki-laki yang menjadikan ibunya sebagai ”kekasih”nya.”
****
Sejumlah penelitian bahkan juga menemukan,bahkwa anak laki-laki jarang terlibat masalah atau berperilaku negatif ketika dewasa jika si anak punya hubungan yang akrab dengan si ibu semasa kecilnya.

Dalam penelitiannya, Dr Pasco Fearon, seorang ilmuwan dari Sekolah Psikologi dan Ilmu Bahasa Klinis, dari Universitas Reading, Inggris, baru-baru ini menganalisis 69 penelitian yang melibatkan hampir 6 ribu anak-anak berusia di bawah 12 tahun.
Hasilnya ditemukan, anak laki yang tidak punya hubungan akrab dengan ibu cenderung menjadi lebih agresif dan menderita masalah kesehatan mental. Khususnya anak laki-laki, yang pada tahun-tahun pertama kehidupannya tidak mendapat ikatan yang aman dari ibu mereka, memiliki lebih banyak masalah perilaku di kemudian hari.
Sebaliknya, anak laki akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang, percaya diri dan punya banyak empati jika memiliki kenyamanan dengan ibunya ketika masa anak-anak.
Anak-anak membutuhkan kekuatan kedua dari orang-orang terdekatnya untuk bisa mengatasi hidup dan tantangannya. Karena anak-anak tidak akan mampu mengatasi risiko yang besar dalam masalah perilaku.

Kualitas hubungan antara anak dan orangtua adalah faktor penting untuk perkembangan anak-anak. Menurut teori kelekatan atau teori ikatan (attachment theory)--yaitu teori dalam psikologi yang menaruh perhatian pada ikatan emosional antara dua atau lebih individu--anak-anak membutuhkan keterikatan dengan sedikitnya satu orang pengasuh untuk mengembangkan emosi dan sosial mereka. Menurut teori yang dicetuskan oleh psikoanalisis John Bowlby ini, tanpa mendapat kebutuhan ini, anak akan kerap menghadapi masalah kejiwaan dan sosial yang permanen.

Tak mengherankan, terdapat hasil penelitian di kalangan pengusaha sukses di kalangan China,bahwa salah satu ciri kehidupan mereka adalah senantiasa menghormati ibu sedemikian rupa karena yakin sosok ibu itulah pilar kesuksesan mereka.
Sama halnya ketika hubungan itu dianalogikan dengan ekstrem, namun sedikit banyak mengandung kebenaran. Bahwa hubungan ibu dan anak ibarat mata dan tangan. Dan tentunya buhungan itu bisa diwujudkan dengan berbagai cara, salah satunya melalui kelezatan masakan.

Noni Arnee

Bebrayan_260910

Setia Pada Kopi Tradisional

Raden Michael Tjipto Martojo

Minum kopi kini menjadi gaya hidup. Kedai kopi tradisional hingga bergaya modern berkelas internasional bertebaran hampir disetiap tempat. Disitu ditawarkan berbagai jenis kopi khas.

Salah satunya kopi legendaris asal Bedono Ambarawa ini. Namanya Eva coffe atau lebih beken disebut kopi Eva. Nama kopi ini memang tidak bisa lepas dari Eva Coffee house, sebuah restoran yang berada di tepi jalur utama Semarang-Yogyakarta, tepatnya di jalan raya Bedono-Ambarawa. Restoran ini dijadikan penyangga sebagai pusat penjualan dan produksi kopi tradisional ini. Hanya disinilah kopi murni asal kebun sendiri dari kebun Tjipto Martojo bisa dicari.

Michael Tjipto Martojo adalah sosok dibalik kenikmatan seduhan kopi Eva. Pria asal Yogyakarta kelahiran 2 september 1923 inilah pemilik Eva Coffee house. Lelaki 88 tahun yang selalu berpakaian rapi dan terlihat bugar hingga kini masih menangani sendiri bisnisnya. Ia tiap hari masih berkutat dengan buku catatan stok dan keuangan di belakang meja kasir.
”Tiap hari di sini dari jam 6 pagi sampai jam 9 malam. Membuat audit laporan keuangan," tutur laki-laki yang masih memiliki ingatan tajam ini.

Tjipto merintis pusat penjualan dan produksi kopinya sejak 1954. Tepatnya sejak ia mengubah haluan hidupnya dari seorang anggota Tentara Rakyat Mataram (TRM) yang setiap hari memanggul senjata menjadi petani kopi.
”Tidak ada jaminan menjadi tentara, apalagi kalau sudah cacat. Dari situ saya harus berpikir untuk mencari kehidupan lain,” ujar lelaki yang juga anggota Brigade 17 itu.

Dengan berbekal ijazah sekolah ekonomi pendidikan Belanda, Iapun menggarap kebun kopi seluas 20 ha milik istrinya, anak lurah Bedono waktu itu. Ia menanam sendiri kopi robusta di areal perkebunan pribadi dan menjalankan roda bisnisnya.
”Waktu sekolah, guru-guru sering mengajarkan cara berdagang untuk menaikkan harga jual. Misalnya kopi yang biasa dijual dengan harga 10 rupiah kalau dibikin bubuk bisa naik harganya menjadi 15 rupiah.”

Bersama istrinya, Tjipto mendirikan warung kopi sederhana berukuran 9x5 meter di jalur utama Semarang-Yogyakarta. Waktu itu pelanggannya hanya orang yang melintas di jalur itu. Seiring berjalannya waktu, bisnisnya mulai berkembang menjadi restoran ”Eva Coffe House” dan homestay yang menempati areal seluas 3 ha. Tidak hanya wisatawan lokal yang mampir mencicipi kopinya, tapi juga wisatawan asing yang selalu memborong kopi yang sengaja tidak dijual ditempat lain untuk menjaga kualitasnya.

”Menjadi tempat transit turis yang ke Borobudur. Banyak bule bilang bau kopi seperti kacang mete. Dulu, kalau belum mampir ke sini sepertinya belum mampir ke Jawatengah. Menyenangkan hidup di desa tapi dapat dolar,” kata ayah yang memiliki lima anak perempuan dan lima anak laki-laki.

Meski puluhan tahun menggeluti bisnis kopi, Tjipto Martojo bukanlah orang yang tahu dan mengenal cita rasa kopi. Pejuang kemerdekaan dengan 12 bintang jasa itu mendapat resep kopi istimewa justru dari teman baiknya bernama Hassel Rius, seorang dosen Universitas Gajah Mada (UGM) asal Denmark yang memberikan resep rahasia kopi yang dikemas dengan aluminium foil ini. ”Ia melakukan penelitian cara mengolah biji kopi dan memberikan ramuan khusus agar aroma kopi lebih kuat dan awet.”

Kopinya harum, bahkan aroma khas kopi sudah tercium dari kemasannya. Tidak hanya citarasa tapi juga kemasan yang khas. Menurut Tjipto, kopi miliknya berbeda dari kopi bubuk lainnya. Rahasia kopi bubuk murni ini ada pada proses pengolahan biji kopi hingga menghasilkan kopi hitam murni siap seduh. Untuk menjamin kualitas, biji kopi dicuci dan direndam ramuan atau obat khusus yang didatangkan dari negeri Belanda.
”Ramuan khususlah yang membuat biji kopi tahan hingga 15 tahun,” ungkap suami Christina Sunarti.

Tjipto menambahkan, kopi buatannya juga berkhasiat untuk obat.” Luka penderita gula jika dibubuhi kopi ini bisa cepat mengering. Bahkan digunakan untuk taburan di peti orang mati agar wangi dan tidak bau.”

Pada masa jaya tahun 1980-an kopi buatan Tjipto begitu dikenal. Kopinya tidak hanya merambah Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok, tapi juga di suplai di pabrik-pabrik besar dan diekspor ke luar negeri. Ia juga membuat varian produk selain kopi bubuk, yakni biji kopi kemasan siap giling dan sirop kopi murni tanpa campuran dan bahan pengawet. ”Sirop tahan paling lama hanya satu bulan dan harus disimpan di lemari pendingin.”

Belakangan, luas kebun kopi Tjipto menyusut hanya 5 ha karena dijual untuk modal usaha anak-anaknya. Karena itu, untuk mensuplai pabrik-pabrik besar, selain kopi dari dari kebun kopi pribadinya, ia juga membeli kopi dari ratusan petani kecil di sekitarnya. Hasil panen ratusan petani kopi ditampung. Kapasitas produksi mencapai setengah ton perhari. ”Semua hasil panen kami tampung, jadi tidak khawatir kopi hasil panennya tidak laku.”

Untuk memberdayakan petani kecil, kakek 21 cucu ini juga memberikan pinjaman modal bagi petani sekitarnya. Upaya itu dilakukan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan petani agar lebih mapan secara ekonomi. ”Biasanya dibayar pada saat panen. Hidup di desa harus dekat dengan penduduk, bisa saling memberi dan menerima.”

Tapi Tjipto mengakui, kurun tahun 2000-an masa kejayaan kopinya telah menurun, menyusul banyaknya broker kopi yang mematikan pasarannya dan banyak yang memalsu kopinya. ”Misalnya dengan memesan kopi dalam jumlah besar tapi dijual dengan harga murah dibawah harga pasar. Malaysia juga membuat kopi. Mereka beli mentah disini, diolah disana dan dijual dengan kemasan lain.”

Selain itu, kopi robusta yang mulai ditinggalkan masyarakatpun menjadi sebab kemunduran bisnisnya. Karena itu, untuk memenuhi permintaan kopi arabica, ia mengambil kopi arabica mentah dari Timur Leste dan diolah seperti kopi robusta miliknya sebelum dilempar ke pabrik. ” Tren beralih ke kopi arabica,sedangkan kami hanya menanam kopi robusta.”

Tapi menghadapi persaingan kopi sekarang ini, Tjipto tetap optimis. Kuncinya, mempertahankan kualitas aroma dan rasa kopi. Ia hanya memproduksi kopi murni tanpa campuran.

Merintis bisnis kopi hingga bertahan setengah abad lebih tentunya bukan hal yang mudah. Perlu perjuangan keras seperti filosofi hidup dari orang tuanya, R Martowiharjo dan RA Sumartinah ini.

Dan kini, keseriusan dan semangatnya menghidupkan bisnis kopi dan restorannya hingga usia senja ia tularkan pada ke lima anak perempuannya yang membantu menjalankan bisnisnya. ”Orang hidup itu harus teliti, titi dan titis. Harus berjuang dan bekerja keras agar berhasil. Keuangan dan keluarga harus dipikirkan betul-betul.”

NONI ARNEE

Bebrayan_190910

10.10.2010

Lebaran Hadir, Diare Mampir

Oleh : Noni Arnee
HAMPIR setiap Lebaran, Paramita selalu mengeluhkan penyakit langganan yang selalu meny-erangnya. Bukan penyakit maag yang seringkali kambuh, melainkan diare. Itu karena setiap meli- hat aneka macam hidangan Lebaran yang hampir semuanya pedas dan bersantan, lidahnya seperti tak sabar ingin segera menyantap semuanya.

''Aku sering diare. Mungkin karena perut dijejali makanan bersantan dan pedas. Maklum mumpung di rumah. Dulu bahkan sampai muntah-muntah segala, gara-gara banyak minum soda pas Lebaran,''cerita Paramita Nurmutia (21), mahasiswa Ilmu Gizi Undip Semarang.

Tidak hanya Paramita, MiaAulia (22) dan Mujiana (43) pun mengakui, diare seperti penyakit ''wajib''yang menghampiri keluarganya pada saat Lebaran. ''Tak cuma aku, tapi semua anggota keluarga. Gara-garanya, tiap kali silaturahmi ke keluarga yang lain pasti disuruh makan ini dan itu. Tidak bisa menolak, bukan? Jadi, tiap Lebaran kami sudah pasti sedia obat diare,''kata Mia sambil tertawa.

Untung saja tambah Mujiana, diarenya tidak terlalu parah. ''Biasanya tiga hari kemudian sudah sembuh setelah minum obat. Tapi tidak bisa bepergian karena BAB terus-menerus.'' Tak hanya mereka yang ''rakus''memakan apa saja, penyakit itu pun menyambangi Istiqomah (40) dan keluarganya yang telah cukup selektif memilih makanan. Sudah menjadi tradisi tiap mudik ke rumah orang tua, hidangan penuh santan menjadi menu wajib kala Lebaran pun tak bisa dihindari. Padahal suaminya seorang vegetarian meski sesekali masih mengonsumsi daging. Juga anak mereka yang lebih suka sayur dari pada penganan berminyak.

''Di rumah Nenek, anak-anak sering diare. Mungkin karena perut tidak dibiasakan makan makanan yang berat-berat seperti itu, ''ujar ibu dua anak tersebut. Tapi itu beda dengan Meilinda. Diare yang saban tahun sering menghantui, kini tidak lagi. Sebab, ia punya resep unik untuk menangkalnya. ''Hanya minum segelas minuman soda atau air kelapa muda saat buka puasa, dan sebelum makan nasi pada malam Lebaran. Tidak pernah diare lagi, meski makan yang manis sekalipun.'' Menurutnya, minuman bersoda ini akan mempercepat pembukaan kelenjar-kelenjar dalam lambung sehingga makanan lebih mudah dicerna. Meski terkesan seperti mitos semata, ia terus menyetiai resep ''sepele''itu yang ternyata manjur.

Sudah Tradisi Memang sudah menjadi tradisi di hampir semua tempat, saat Lebaran berbagai macam makanan lezat, gurih, dan manis tersedia, baik di rumah maupun tempat yang dikunjungi untuk silaturahmi. Sebut saja opor ayam, rendang, sambal goreng, aneka kue kering dan basah, sirup, sampai minuman bersoda, yang semuanya begitu menggiurkan.

Ketika Lebaran tiba perut pun langsung ''dihantam''dengan banyaknya makanan yang terhidang di atas meja. Biasanya pada saat itu, kecenderungan untuk mengonsumsi makanan yang berlebihan pun muncul seperti beberapa pengalaman di atas. Tidak hanya mereka, mungkin sajaAnda juga mengalami.

Jika tergoda mengonsumsi secara berlebihan, bisa dipastikan penyakit segera menghampiri seperti yang terjadi misalnya pada Paramita dan Mia.
Jadi, menjelang Hari Raya Idul Fitri ini, ada baiknya mengingat kisah mereka. Sebab, dari data di sejumlah rumah sakit yang melayani pasien pada saat Lebaran, terjadi peningkatan signifikan jumlah pasien. Sebagian besar penyakit mereka diakibatkan perilaku yang tidak membatasi diri dalam hubungannya dengan makanan sehingga sangat rentan terserang berbagai penyakit.

''Peningkatan jumlah pasien umumnya diakibatkan oleh penyebaran melalui makanan dan minuman yang tidak sehat,'' ujar dr Hery Jagad Sppd, ahli penyakit dalam dan konsultan Gastrohepatologi RS dr Kariadi Semarang.

Gangguan kesehatan ringan hingga berat umum yang banyak terjadi dan patut diwaspadai antara lain gangguan saluran pencernaan, diare, ISPA, dan penyakit degeneratif yaitu diabetes, hipertensi, hiperkolesterol, jantung dan stroke.
Menurut dr Hery, penyakit yang banyak ditemukan adalah diare, dari yang ringan hingga akut. ''Biasanya orang mengonsumsi makanan tanpa memperhatikan kualitas asupannya. Lemak dan protein tinggi, sedangkan sumber serat, vitamin, mineral, dan zat arang rendah.'' Karena itu, agar situasi Lebaran tak sampai memicu berbagai penyakit di kemudian hari, ia mengingatkan, untuk berhati-hatilah karena perubahan perilaku dalam urusan makan.

''Tidak terkontrol dan makan sepuas-puasnya semua hidangan yang disajikan, padahal justru membahayakan kesehatan apalagi bagi orang yang mempunyai riwayat penyakit degenaratif,''jelasnya.

Diare ini terjadi selain karena infeksi juga akibat adanya gangguan penyerapan makanan yang mempunyai lemak terlalu tinggi.
''Usus tidak mampu menyerap lemak dan tidak bisa terabsorsi dengan baik sehingga menimbulkan diare.'' Menurutnya, diare ringan cenderung mudah diobati. Tapi penyakit ini bisa berubah menjadi akut. Dan jika tidak secepatnya mendapat penanganan yang tepat akan menyebabkan dehidrasi berat yang dapat memicu syok sehingga harus dirawat.

’’Penderita harus segera diberi cairan elektrolit. Jadi tergantung tipe dan jenis diare. Yang menjadi masalah jika diare disertai dengan muntah-muntah hingga dehidrasi. Kondisi akan semakin parah jika memiliki riwayat kronis terhadap suatu penyakit.’’ Lantas bagaimana cara menghindari dan atau meminimalisasi penyakit yang menjadi tren saat Lebaran dan tidak memberatnya penyakit kronis yang telah diderita? Dokter yang juga dosen FK Undip Semarang itu memberi saran, agar semua dikembalikan pada diri masing-masing dalam menjaga dan memperbaiki perilaku, lingkungan dan daya tahan tubuh. Setiap orang pasti memiliki ukuran sendiri atau sangat variatif. ’’Perilaku itu mencakup bagaimana pola makan yang tidak berlebihan, seimbang, dan sehat.

Jangan lupa tetap olahraga dan perhatikan waktu untuk istirahat.’’ Adapun, Ahli Gizi Prof dr Siti Fatimah-Muis MSc SpGK mengatakan, perlunya menyajikan alternatif makanan dan minuman pendamping untuk menyiasati dan meminimalisasi kemunculan gangguan kesehatan pada saat lebaran yang diakibatkan asupan makanan yang tidak seimbang.

''Itu bergantung atas kejelian keluarga untuk mengatur menu sajian Lebaran yang cocok dan bisa disajikan bersamaan dengan menu 'wajib'.'' Ia mencontohkan aneka makanan dan minuman yang mengandung vitamin dan zat arang tinggi, misalnya dengan menyajikan buah-buahan atau minuman jus buah segar, aneka salad sebagai pengganti sayur. Selain itu, untuk menekan hal ini, sebaiknya kembali menormalkan pola makan seperti semula.

Jadi, ada baiknya mengendalikan nafsu untuk menyantapnya. Makan secukupnya dan tidak berlebihan. Dan tidak lupa perhatikan riwayat kesehatan. Tapi jika tetap tidak bisa menahan diri untuk mencicipi semua makanan lezat yang tersaji di meja pada saat Lebaran,Anda bisa juga mencoba resep ''mitos''dari Meilinda. (62)

Peliput: Tim Edisi Minggu SuaraMerdeka
050910

Cinta lama (Tak Harus) Bersemi Kembali

Tradisi mudik Lebaran setiap setahun sulit untuk dihilangkan. Bersilaturahmi dengan keluarga besar di kampung halaman pun menjadi momen yang bakal dilewati selama di kota asal.

Dan sudah menjadi lazim, bahwa setiap hari raya seperti Idul Fitri seringkali ada acara tambahan berupa acara reuni atau temu kangen dengan teman-teman sekolah dahulu. Tak bisa dimungkiri, munculnya jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter ikut berperan menyatukan kembali jalinan pertemanan yang sudah lama putus.
Reuni diadakan untuk mengumpulkan lagi teman semasa sekolah, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Reuni yang sering disebut dengan “temu kangen“ selalu disambut dengan antusias karena banyak kisah-kisah manis semasa bersekolah yang sulit dilupakan.

Selain untuk silaturahmi dan memperluas jaringan, temu kangen pun menjadi medium untuk kembali mengenang masa-masa indah dulu ketika bersendau gurau, belajar dan bermain bersama. Sungguh mengasyikkan Tapi di balik temu kangen itu, ada kisah menarik yang patut kita simak. Yakni, sensasi yang dirasakan ketika berjumpa dengan orang yang pernah mempunyai tempat khusus di hati. Seperti beberapa pengakuan beberapa orang di bawah ini.

Doni (45) bertemu Lia, mantan pacarnya di bangku SMA saat reuni tahun lalu. Setelah itu, ketika dia hampir lupa dengan lia, teleponnya berdering. “Tidak mengira dia telepon, padahal setelah reuni kami tak berkomunikasi,“ cerita Doni, ayah dari tiga anak.

Dalam telepon itu, awalnya mereka hanya bercerita seputar kehidupan masing-masing.
Soal anak dan pekerjaan. Namun, tiga bulan kemudian, mereka bertemu ketika keduanya berdinas di Jakarta. Lia lalu secara intensif menghubungi Doni dan berlanjut dengan pertemuan mereka tiap ada kesempatan. “Pembicaraannya umum saja atau cerita nostalgia semata,“ ujar Doni yang merasa tak perlu menceritakan hal itu kepada istrinya.

Sampai suatu ketika, Lia mengabarkan kematian suaminya.
Doni pun menjadi empati dan tanpa disadari, dia jadi lebih memperhatikan dan kerap menghubungi pacar lamanya itu.

Tapi Doni mengaku tak ingin mengumbar rasa ibanya. Dia khawatir cinta lama akan bersemi kembali. Ia akhirnya memilih menjaga jarak dengan Lia, dengan alasan sibuk di kantor. “Ini hanya emosi sesaat, saya tak mau keterusan,“ kata Doni, yang kemudian menceritakan sosok Lia kepada sang istri untuk menghindari munculnya perasaan cemburu.

Itu berbeda dengan Sinta (30) di Semarang yang memang berusaha mencari tahu keberadaan Surya, mantan kekasihnya kala masih SMP.
Lewat Facebook, ibu dua anak itu mendapat nomor telepon Surya yang kini bekerja sebagai kontraktor. Ia bertemu lelaki itu melalui reuni sekolahnya tahun lalu. “Tidak tahu kenapa, tetapi mendengar suaranya jadi deg-degan.
Padahal hanya bicara hal-hal umum saja,“ ujarnya.

Hubungan Sinta dengan kekasih lamanya berlanjut. “Menyenangkan, kami banyak diskusi soal puisi, film, dan drama. Kebetulan hobi kami sama,“ kata Sinta yang mengaku klop dengan Surya.
Dia tak menceritakan hubungan itu kepada suaminya yang bekerja di luar kota. Alasannya, dia menganggap kekasih lamanya itu tak berbeda dengan teman-teman lain, meskipun ungkapan sayang dan mesra seringkali “mendarat“ di Blackberry miliknya.
Sinta jadi bak remaja yang tengah jatuh cinta. “Ingin ketemu untuk sekadar ngobrol dan curhat. Maklum suami jauh, apalagi dia sangat perhatian dan mengerti saya,“ ucap perempuan itu sambil tersenyum simpul.

Radit (37) juga mengaku bertemu dengan Ana, pacar semasa SMA saat reuni. “Tak ada perasaan cinta, hanya ingin tahu kabarnya.
Samalah seperti teman lainnya, meski yang satu ini ingin tahu lebih,“ kata ayah dua anak ini sembari tertawa.

Grogi menjadi kesan pertama Radit saat bertemu Ana. Tetapi setelah itu semua berjalan sewajarnya. Di mata dia, Ana tetap cantik seperti dulu. Tetapi itu tak berarti dia menyesal mereka tak berjodoh. “Jadikan perempuan idaman saja. Kalau jadi istri, mungkin dia malah tak bisa jadi istri idaman,“ ucapnya.

***
BAGI Dra Sri Mariati Deliana MSi, psikolog dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), pertemuan insidental dengan teman lama dalam sebuah reuni atau temu kangen atau pun kesempatan lainnya sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Maksudnya, pertemuan nostalgia justru berdampak baik untuk menyegarkan kembali pikiran kita. “Memu nculkan emosi sesaat itu tidak ada salahnya, bisa jadi refreshing dari rutinitas sehari-hari,“ katanya.

Pertemuan seperti yang dialami Doni dengan Lia atau Radit dengan Ana biasanya lebih bisa dipertanggungjawabkan karena mereka dewasa dan matang seiring perjalanan waktu. “Tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan. Semua itu bergantung atas masing-masing individu, terlebih lagi perjalanan hidup mereka masing-masing telah mematangkan emosi. Jadi, tidak masalah.“

Tapi menurutnya, meski berkesan seperti “iklan lewat“ atau selingan, sebuah hubungan yang tak sekadar teman biasa tetap punya kemungkinan untuk melibatkan emosi dan fisik keduanya secara lebih intensif. Seperti hubungan Sinta dan Surya. Pertemuan dengan teman yang sudah menumbuhkan perasaan lain di hati ini patut diwaspadai, meski mereka seringkali menyangkal dan menganggap hanya sekadar berbagi.
Orang yang seperti itu, lanjut Deliana, biasanya adalah orang yang cenderung “bermasalah“, yakni orang yang kehidupan rumah tangganya mengalami kegamangan karena situasi dan kondisi.

“Bermasalah dalam tanda kutip, ya, meski permasalahan tidak selalu terlihat dari luar, seperti misalnya jauh dari suami.“
Ketika bertemu tambatan hatinya, mereka seringkali merasa lebih baik, karena ada sisi yang tidak ditemukan pada pasangannya. “Lalu membandingkan, padahal perlu pemikiran panjang. Mereka sudah sekian lama tidak bertemu, bisa jadi keduanya berbeda dibanding dahulu,“ tambah Deliana.

Sebenarnya semua itu, menurut Deliana, bergantung atas cara berpikir seseorang dalam melihat situasi dan kondisi masing-masing individu. Misalnya, Radit yang berpikir lebih dewasa dan matang menyikapi kehidupannya sekarang. “Mensyukuri apa yang sudah dimiliki, sekecil atau sejelek apa pun justru lebih membahagiakan daripada memunculkan cinta lama yang belum tentu ujungnya.“ Memang, selain butuh kesadaran, juga diperlukan pengendalian diri yang kuat.

“Kalau berlangsung sesaat saja, itu masih wajar. Kalau keterusan bisa jadi masalah. Setiap individu kan punya kehidupan masa lalu, kini, dan masa depan. Kehidupan yang tak seluruhnya bisa dibagi dengan pasangannya.
Meski wajar, tetapi sebaiknya hati-hati biar tidak tergelincir.“

Ya, reuni bertemu sosok spesial di waktu lalu memang membawa sensasi menyenangkan. Tapi, jika berkepanjangan, mungkin mengundang masalah yang membahayakan.
Kembali ke masa lalu terkadang memang sangat menyenangkan, tapi terkadang juga bisa jadi bumerang. (62)

NONI ARNEE
Bebrayan_050910

Memilih Jauh dari Orang Tua

Tival (23) menggerutu begitu selesai menerima telepon dari mamanya yang berada di Jakarta. Perhatian ibundanya yang mengecek hampir setiap hari melalui telepon genggamnya justru membuatnya jengah.

Ditambah lagi berbagai larangan dengan alasan untuk kebaikan. Ia merasa orang tua sering memakai sejarah hidup mereka untuk “mengatur“ kehidupannya.
“Mama lagi, Mama lagi. Biasa ngecek aku lagi apa. Dia nyokap tipe protektif dan aku sering kurang klop sama keinginannya,“ ujar mahasiswa yang baru lulus dari sebuah perguruan tinggi di Semarang itu.

Maklum, sejak lama Tival selalu mengikuti pilihan orang tua. Begitu diterima kuliah di Semarang, tentu saja ia merasakan kebebasan. “Enak banget hidup jauh dari ortu bisa bebas menjalani kehidupan. Semua pilihan hidup kita tanggung sendiri.“
Konsekuensinya, semua permasalahan Tival harus diselesaikan sendiri agar ibundanya tidak khawatir. “Biasanya laporan yang baik saja. Misalnya, jadi asisten dosen, ikut seminar ini-itu. Kalau ada masalah tidak bilang, selesaikan masalahnya sendiri atau dengan kawan. Biar tidak kepikiran. Pokoknya jangan sampai tahulah,“ ungkap anak sulung dari tiga bersaudara tersebut.

Begitu juga dengan Ririn (26) yang sudah dua tahun terakhir ini bekerja di Semarang.
Bisa dibilang ia sangat jarang berkomunikasi dengan orang tuanya. Bahkan sejak diterima bekerja di sebuah agen properti, belum sekali pun menginjakkan kaki ke kampung halaman di Malang untuk bertemu keluarganya. “Tidak, ah. Mendingan di Semarang saja, lebih nyaman di sini,“ ujar Ririn. Dulu, tinggal bersama orang tua kadang dianggapnya sebagai sebuah “siksaan“ karena menurut perempuan ayu ini, keluarga terlalu banyak mengekang dirinya dengan berbagai macam aturan. Ia juga merasa kurang pergaulan alias kuper. “Dulu main dengan temanteman saja dilarang. Pulang harus tepat waktu. Alasannya nanti kamu beginilah, begitulah. Makanya ada kesempatan out dari rumah ya jelas senang banget. Bisa bebas,“ jelas Ririn.
Sedikit berbeda, Wulan (22) mengaku keputusan ngekos mendapat dukungan kedua orang tuanya.

Alasannya karena ingin menjadi pribadi yang lebih mandiri. Ia bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri.
Dan hidup jauh dari orang tua sedikit banyak telah menggemblengmentalnya.
“Belajar hidup sendiri. Dulunya aku anak mami banget dan tidak bisa hidup mandiri. Kalau dibandingkan lebih senang sekarang bisa hidup mandiri. Aku bisa masak, cuci piring sendiri, cuci baju, nyapu kamar sendiri.“

Tapi Wulan mengakui banyak hal yang tidak mengenakkan ketika jauh dari orang tua.
“Ada plus minusnya. Kalau kangen dengan Mama biasanya saling telepon dan selalu ditanyain sudah makan belum, aku juga sering kangen masakan Mama. Kadang repot juga kalau ada apa-apa karena jauh.“

***
TIVAL, Ririn maupun Wulan adalah sebagian kecil contoh dalam kehidupan seharihari mengenai anak muda sekarang yang lebih memilih dan memutuskan untuk tinggal dan hidup sendiri tanpa campur tangan orang tua.
Fenomena itu menurut psikolog Dra Hastaning Sakti MKes, lebih dikarenakan faktor pencarian jati diri. Seorang anak yang tumbuh dewasa mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan eksistensi dirinya bahwa mereka bisa dan mampu menjalani hidup sesuai keinginannya.

“Itu psikologi anak yang ingin mengaktualisasikan diri dan menunjukkan ke orang tua.
Sebagian dari mereka memang ingin mandiri karena melihat teman dan mencoba mengalokasikan waktu dengan bertangungjawab sendiri.“

Menurutnya, kondisi itu tidak hanya terjadi pada keluarga yang kurang harmonis, tapi juga anak dari keluarga baik-baik. Namun, Hastining mengungkapkan, anak yang lebih merasa nyaman jauh dari orang tua itu terjadi karena kemungkinan besar orang tua tidak memberi kesempatan penuh kepada anaknya untuk berkembang.
“Orang tua tidak memberi pemahaman kepada anak, padahal seharusnya bisa member opsi atau pilihan, tidak melarang, mengekang atau menutup akses mereka untuk berkembang. Cenderung meng-underestimate anak. Misalnya, nanti kalau ada apa-apa, bagaimana? Orang tua harus sadar akan hal itu.” Setiap anak butuh eksistensi diri tapi sering tidak didukung oleh orang tua sehingga sering tidak sepaham seperti yang dialami Tival. Atau, memilih keluar dan hidup jauh karena tidak dihargai seperti halnya Ririn yang sangat enggan untuk bersua dengan orang tuanya meski hanya melalui telepon. Biasanya orang tua tidak tahu cara berkomunikasi. Ini biasa terjadi.

”Orang tua seyogianya mendukung, tidak perlu menelepon terus untuk mengetahui segala hal yang sedang dilakukan si anak.” Kondisi idealnya menurut Hastining Sakti, kedua belah pihak harus saling membuka diri. ”Anak yang sudah menikah pun kadang masih diintervensi dan masih diperhatikan secara berlebihan.” Dia juga mengungkapkan tiga hal yang mendasar yang bisa dipraktikkan anak maupun
orang tua dalam berkomunikasi dan membina hubungan yang seimbang, yaitu menerima, menghargai, dan mengakui. Konsep ini berlaku untuk anak dan orang tua dan berbagai tingkatan. “Kadang anak merasa sudah besar dan suka gengsi.“
Kegagalan komunikasi yang mengakibatkan ketidaknyamanan, rasa khawatir yang berlebihan atau protektif ini karena orang tua tidak pernah berinteraksi dengan anak, pun sebaliknya.

Memang kadang diakui bahwa menerima, menghargai, dan mengakui apa pun kondisi masingmasing bukan hal yang mudah. Ia juga menegaskan bahwa sikap saling menghargai itu harus dimunculkan.
“Mengakui itu mudah tapi sulit.Sekadar mengakui saja. Bagaimana bisa menghargai dan mengakui kalau keduanya sering negative thinking melulu.“

Ada beberapa hal atau contoh kecil berdampak sangat positif untuk membina hubungan baik dan bentuk membina hubungan baik dan bentuk saling menghargai antara keduanya. Misalnya, saling mengetahui dan memahami kondisi masing-masing. Anak lebih baik memberitahukan keadaannya sehingga orang tua tidak merasa khawatir. Bisa melalui pesan singkat atau bicara dengan kata-kata manis dan halus.

Cara berkomunikasi pun bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon hingga jejaring sosial seperti Facebook.
Jadi, yang harus diketahui kedua belah pihak adalah bahwa kebersamaan dalam keluarga itu adalah hal paling indah. Keluarga adalah harta yang tak ternilai. Saling mengerti, memahami, dan menjaga menjadi kunci keharmonisan. Jagalah keluarga selagi mampu, dalam kondisi dekat maupun jauh. (62)

NONI ARNEE
Bebrayan_220810

10.07.2010

Kyai Tombo Ati sang Penakluk Preman

Muhammad Kuswanto (Gus Tanto)

Sepintas dia berkesan gahar dengan rambut tertutup kopiah hitam yang tergerai lurus hingga sepinggul, pakaian serbahitam den gan pin bendera Merah Putih menempel di kerah baju. Tapi sosok kiai nahdliyin yang satu ini memiliki suara yang lembut.

“Orang sering hanya melihat penampilan fisik semata,padahal semua sama. Yang diutamakan perilakunya,“ ujar Muhamad Kuswanto, atau lebih akrab disapa Gus Tanto mengomentari penampilannya.

Gus Tanto adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Istighfar di kawasan Perbalan Semarang. Pesantren yang dikenal masyarakat umum sebagai Pesantren Preman itu berada di sebuah perkampungan yang sejak zaman penjajahan Jepang dikenal sebagai “sarang penyamun“, atau diidentikkan dengan “perbal“, sebagai komunitas gali.

Pondok Pesantren Istighfar awalnya memang khusus mengasuh preman yang berniat insyaf. Lantas bagaimana Gus Tanto menaklukkan para preman yang waktu itu dianggap sangat meresahkan masyarakat?

Semua berawal dari anggapan masyarakat yang mencap negatif pada pemuda Perbalan.
Kondisi itu membuatnya tersentak. Gus Tanto tak tahan menyaksikan kekerasan di sekitarnya sehingga ia bertekad merubah citra kampung tempat tinggalnya dengan membangun pondok pesantren. “Saya lahir, besar, dan tinggal sampai sekarang di sini. Sejak kecil saya terbiasa berkelahi. Namun, saya terpaksa berkelahi untuk membela teman atau membela diri. Ini yang membedakan saya dengan remaja kebanyakan.
Dari situ saya terbiasa dengan kehidupan preman, yang identik dengan kekerasan,“ ujar Gus Tanto saat ditemui.

Selepas SMApada 1986, Gus Tanto tergugah untuk berdakwah di jagad gelap, di tengah para preman. Lelaki berambut gondrong ini pun mengembara. Dia berguru kepada kiai-kiai utama yang tersebar di Pulau Jawa, mulai dari Banten sampai Banyuwangi untuk mencari strategi jitu agar bisa menebar dakwah di kalangan preman.
Dua tahun kemudian dia mulai melakukan pembinaan terhadap preman. Untuk menyelami lebih dekat kehidupan para preman, dia menyambangi tempat perjudian, diskotek, dan lokasi pelacuran. Dia juga aktif di ring tinju.

“Perjuangannya sampai ke mana-mana.Saya terjun di terminal langsung tempat mereka biasa mangkal. Dari bandit kelas bawah sampai kelas atas hingga tetek bengek, ada di sana. Saya mendalami psikologi mereka hingga menyadar kan mereka bahwa yang mereka lakukan itu negatif,“ cerita ayah dari Husein Tito Nurkholis (17), Amalia Zulva Nilasari (11), dan Najwa Ayu Khusnul Khotimah (2) itu.

***
GUS Tanto mangkal di teminal sebagai mandor. Para preman disapa dan dibina secara perlahan melalui pengajian dan konsultasi rohani, hingga kembali menemukan jalan Tuhan. Dalam mujahadah itu, dia berusaha menawarkan rasa sejuk di hati para preman. Di mata Gus Tanto, preman tidak membutuhkan bahasa ucapan, tapi butuh bahasa praktik. Dengan pendekatan itu, satu per satu preman di Terminal Semarang merasa tersentuh dan ikut mujahadah yang sudah digelar sejak tahun 1988 di Perbalan.

“Dulu saya hanya mengoordinasi dan membina preman dari pangkalan satu ke pangkalan yang lain. Dekati secara personal, mereka saya ajak kumpul-kumpul. Lalu saya ajak Yasinan dan tahlilan bersama. Setelah itu, baru ngobrol yang lain. Awalnya 10-15 orang. Pertemuan dilakukan dari rumah ke rumah bergiliran.
Lama-lama banyak yang tertarik.“

Meski bangunan pondok pesantrennya baru berdiri pada 2005, namun aktivitas jamaah pesantren yang dipimpin putra bungsu dari empat bersaudara pasangan Siti Kustinah dan Muhammad Nasiran ini sudah berlangsung sejak 20 tahun lebih. Itu bersamaan dengan kiprah Gus Tanto di dunia jalanan dan preman.

Kuncinya, menurut Gus Tanto, adalah tidak menggurui dan mendikte para preman. Selain itu juga dia menanamkan rasa saling menghargai dan menghormati kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka pun merasa lebih nyaman belajar di Ponpes Istigfar karena lebih menekankan pembentukan akhlakul karimah.

“Saya juga tidak pernah melarang para santri tak berbuat maksiat. Tidak pernah bilang mabuk itu haram, menodong itu dosa. Mereka sudah tahu. Mereka saya ingatkan secara tidak langsung, perlahan-lahan. Yang sudah bisa sedikit berubah, mereka saya suruh puasa Senin dan Kamis. Dengan puasa, nafsu terkendali. Kami juga melakukan shalat malam berjemaah,“ jelas laki-laki tamatan SMA5 Semarang tersebut.
***

APA yang dilakukan Gus Tanto begitu disukai karena caranya mendekatkan diri dengan t santri yang disebutnya jemaah. Bentuk pencerahan rohani yang biasa dilakukan Gus Tanto adalah metode ngaji Tombo Ati, yakni membu i ka hati para jemaahnya untuk berbuat baik. t “Saya hanya tekankan, jika kita mau mengingat Allah, Allah pasti akan mengingat kita. Jika kita l berbuat baik kepada makhluk yang hidup di bumi, yang ada di langit akan menyayangi kita.“

Filosofi itulah yang ia terapkan pada dirinya sendiri, istri tercinta dan ketiga anaknya dalam kehidupan sehari-hari. “Awalnya justru dari diri sendiri dan keluarga. Itu yang terpenting, baru kemudian ditularkan kepada mereka.“
Kini, suasana religius ini dapat kita jumpai tiap malam usai pengajian dan shalat berjamaah ( di Pondok Pesantren Istigfar. Nama “istighfar“ itu diambil karena tempat itu menjadi sarana untuk bertobat.

Di pesantren yang sekaligus tempat tinggal Gus Tanto ini, sekitar 200-an mantan preman belajar mendekatkan diri kepada Tuhan. Semuanya adalah santri kalong. Santri yang datang ke pondok jika ada acara atau membutuhkan konsultasi. “Tapi kalau yang keluar masuk sudah tak terhitung lagi,“ tambah suami dari Daryanti (43) itu.

Gus Tanto beranggapan bahwa setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif. Apalagi pada dasarnya mereka tidak ingin menjadi preman. Namun, situasi menjerumuskan mereka ke jalur preman. “Kebetulan saja, orang yang kita sebut sebagai preman sisi positifnya belum tersentuh. Dalam menilai seseorang, kadang kita tidak fair, hanya melihat sisi negatif seseorang tanpa melihat sisi positifnya. Kalau kita tahu perilaku preman itu salah, mengapa tidak kita ingatkan? Untuk mengingatkan, kita harus dekat dengan mereka.“

Kini pondok pesantren ini terus berkembang. Pendirian pesantren tidak hanya sebagai bentuk ikhtiar Gus Tanto membantu pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Pesantren ini tidak hanya untuk tempat ngaji para preman, tapi juga tempat anak-anak belajar membaca Alquran dan pengajian ibu-ibu rumah tangga. Bahkan juga mengentaskan pengangguran melalui usaha jasa travel yang dikelola para santri.

Dan seiring dengan waktu, jemaah Gus Tanto yang juga akrab disapa Kiai Tombo Ati ini merebak. Tidak lagi hanya dipenuhi preman, tapi masyarakat dari berbagai stratum sosial seperti pejabat, artis, pegawai, polisi, dan lainlain. “Sekarang preman maknanya luas. Preman menurut saya ada tiga macam, yakni preman berdasi, preman rumah tangga, dan preman berlari. Mereka itu orang-orang yang dusta pada diri sendiri,“ ujarnya tersenyum.

Kini teriakan para pemabuk tiap malam di kampung preman pun tak berbekas. Yang ada hanya lantunan merdu ayat-ayat Alquran yang berasal dari sebuah gang di kampung tersebut.(62)
NONI ARNEE

Suara Merdeka
Bebrayan_150810

Mereka Yang Sendirian Berpuasa

Puasa tahun ini bakal menjadi tahun kedua buat Dewi (23) tanpa ibu tercinta. ”Sekarang Mami sudah tak bisa mene- mani saat puasa lagi karena sudah meninggalkan kami semua,” kata Dewi.

Pengalaman tahun lalu membuktikan padanya bahwa tanpa ibundanya berpuasa menjadi lebih sulit. Jika dulu bangun tidur, dia bisa langsung makan sahur, sekarang sebagai anak tertua, ia harus bertanggung jawab menyiapkan makan sahur untuk ayah dan kedua adiknya. Tiap hari Dewi harus bangun jam 02.30 untuk memasak terlebih dulu, meski ia kadang merasa kerepotan bangun sepagi itu.

Sementara urusan buka puasa diserahkan pada Dea, adiknya. ”Dia baru lulus kuliah dan belum kerja jadi sekarang kerjaannya jadi koki.
Kami gantian. Yang penting, buka puasa beres saja.” Walau semua pekerjaan rumah bisa dihandel dengan baik, tapi Dewi tetap saja merasa tetap ada yang sangat berbeda dengan ketika sang ibu masih hidup. ”Rasa masakan nggak seenak yang Mami buat, apalagi pas makan, terasa banget nggak ada beliau. Sepi, tapi mau bagaimana lagi? Jalani saja, kan?” ujar cewek manis ini dengan nada sendu.

Itu agak berbeda dengan Mira (21), mahasiswi Jurusan Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di Semarang ini. Sebagai orang yang tinggal jauh dari orang tua, ia harus melakukan persiapan benar-benar menghadapi bulan Puasa. Menyiapkan buka dan sahur sendirian. Meski Mira adalah anak kos, ia lebih suka memasak sendiri ketimbang membeli makanan warungan di sekitar tempat kosnya.

”Awalnya berat, karena di kos kan apa-apa sendiri. Menyiapkan makanan berbuka dan sahur sendiri. Tapi selalu siap roti atau mi dan susu. Jadi lebih praktis kalau bangunnya telat,“ ujar gadis itu.

Mira juga enggan mengandalkan kebaikan teman kos untuk membangunkannya. Karena ia sering kesulitan bangun makan sahur, ia meminta ibundanya yang tinggal di Pontianak untuk membangunkan. “Ditelepon kalau pas sahur, tapi kadang tidak mempan. Jadi tidak sahur. Makanya kalau buka puasa suka makan banyak,“ tambahnya.

Kalau boleh memilih, tentu saja Mira lebih menginginkan menjalani ibadah puasa bersama keluarga tercinta. Tapi tuntutan citacita membuatnya terpisah jarak dari mereka.“Tapi ada hikmahnya. Aku jadi lebih mandiri.“

***
SELAIN Dewi dan Mira, ada banyak orang yang berpuasa lebih berat ketimbang orang lainnya.
Andi, misalnya, “terpaksa“ harus menjalani puasa sendirian karena istrinya menderita maag kronis yang sehingga disarankan dokter untuk tidak berpuasa.

“Ini bakal jadi tahun kedua aku puasa sendiri. Kalau buka puasa relatif lebih mudah. Tapi kalau sahur ya makan sendir karena tidak setiap sahur ditemani istri,“ cerita Andi Memang tidak mengenakkan bagi Andi, tapi ia tetap berusaha menikmati makan sahur sendiri. “Yang terpenting kan niat ibadahnya.“

Lain halnya dengan Ira, selama bertahun-tahun dia menjalankan ibadah puasa sendirian. Dia dan sang suami berbeda agama.Meski begitu, tak ada persoalan di antara keduanya yang mengganggu Ira menunaikan kewajibannya.“Mas Doni sangat mendukung, dan kami sedari awal memang sudah punya komitmen untuk hal itu.“

Hal itu bisa dilihat dari perhatian Doni yang selalu mengingatkan dan memberi vitamin ketika Ira akan menjalankan puasa keesokan harinya. kurang rajin minum vitamin. Suami sayalah yang selalu mengingatkan sekaligus menyiapkannya,“ ibu dua anak ini.

Doni juga menemani Ira sahur. Bahkan, kadang-kadang jika Ira terlalu lelap dalam tidurnya, sang suamilah yang membangunkannya. “Dia tak puasa tapi rajin mene mani sahur.“

Saling pengertian pasangan suami-istri ini juga diperli hatkan kepada ua buah kepada dua buah hatinya. Ira tidak memaksakan anak-anaknya turut berpuasa seperti dirinya. Ia membebaskan mereka menentukan pilihan.

Ya, dalam kenyataan, ada sebagian orang Islam yang menjalankan ibadah puasa tidak dalam situasi dan kondisi yang menyenangkan. Apa yang dialami mereka yang disebut di atas hanyalah contoh kecil saja. Tapi, justru dari situlah sebenarnya, mereka mendapatkan makna puasa yang bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tapi juga godaan lainnya yang bersifat psikologis.

Yang jelas, mereka punya cara sendiri sendiri dalam memaknai puasa. Dewi yang harus menggantikan peran mendiang ibunya, kepasrahan Ira harus berpuasa sendiri kare na suaminya tidak seagama, atau Andi yang harus ser ing merasa “seorang diri“ di rumah saat puasa karena sakit yang diderita istrinya, atau pun Mira yang jauh dari keluarganya, pasti beroleh hikmah yang mahal. Paling tidak, dalam diri mereka terben tuk karakter yang mandiri, sabar, atau tahan banting.

Namun, apa pun yang dilakukan seseorang di bulan Puasa ini, semuanya kembali kepada kesadaran diri masing-masing dalam memahami makna puasa, serta makna-makna lain yang akan menentukan sikap dan periku diri ke depan. laku diri ke depan.

Maka, yang terpenting dari semua itu adalah niat, hati, dan pikiran kita untuk menjalankan ibadah puasa, bukan penampilan lahiriah atau materi peribadatan yang dilakukan. Menurut ahli agama, puasa merupakan suatu proses bagi orang untuk lebih bertakwa. Selamat berpuasa, semoga mendapat berkah ilahi. (62) NONI ARNEE

Suara Merdeka
Bebrayan_080810

Semarang Dalam Selembar Kain Batik

Joko Sunarto

Ingin tahu lebih banyak tentang kota Semarang? Anda bisa mencarinya hanya dalam selembar kain batik ”Jagat Semawis”. Di kain itu tertoreh hampir semua ikon kota Semarang.

Ada delapan ikon yaitu buah asam, blekok, naga simbol pecinan, Lawangsewu, warak, Gereja Blendoek, pagoda, dan perahu nelayan. Semua itu menyatu dalam desain indah.
Desain itu memenangkan anugerah ”Canting Mas Award” dalam Lomba Desain Batik Semarang 2010 yang diselenggarakan dalam rangka Reuni Akbar SMA1 Semarang, belum lama ini. Siapa orang di balik desain jawara itu?

Sosok itu bernama Joko Sunarto (46). Dari tangan dinginnyalah desain kain batik itu tercipta. Ia bukan seorang pengrajin batik mumpuni yang sudah puluhan tahun menekuni batik. Dia adalah karyawan pada Desk Artistik Harian Suara Merdeka. Sudah 20 tahun dia bekerja di koran terbesar di Jawa Tengah ini.

”Tidak menyangka kalau menang karena saya menganggap diri saya belum pantas meraih penghargaan tertinggi untuk pengrajin batik,” ujar Joko merendah.
Ide dan kreativitasnya itulah yang membuat sebagian pengrajin batik ”iri” pada keberhasilan lelaki jebolan Jurusan Seni Rupa IKIP Semarang (sekarang Unnes). Padahal bisa dibilang, ilmu membatiknya hanya dia pelajari dalam kurun waktu satu bulan. Itu pun merupakan tenggat waktu yang diberikan panitia lomba untuk mengirimkan karya.

Kemenangan itu tak diraih dengan mudah. Ada perjuangan dahsyat di balik tropi Canting Emas dan uang yang ia dapatkan sebagai hasil kerja kerasnya. Sedari awal, dia memang sangat antusias untuk mengikuti lomba tersebut. Dia adalah orang pertama yang mengambil formulir lomba.

Saat itu, dia agak terkejut karena yang dilombakan adalah desain batik yang harus diaplikasikan ke selembar kain. Sebagai pendesain, tak sekali pun Joko membatik. Tentu saja, menuangkan desain dalam kain bukan perkara gampang. ”Saya menelepon panitia untuk tanya apakah desain boleh ‘didandakke’ke pengrajin. Ternyata boleh,” ungkap suami Wiwik Widiarsih (41) ini.

Joko sedikit lega. Ia punya waktu satu bulan untuk menyelesaikannya dua desain batik yang akan diikutkan lomba, yaitu ”Jagat Semawis” dan ”Parang Warak”. Joko lantas menghubungi pengrajin batik untuk membantunya. ”Tapi pengrajin butuh waktu 1,5 bulan untuk satu desain.
Itu artinya dalam kondiri normal butuh waktu tiga bulan. Jelas tak cukup untuk memenuhi tenggat waktu lomba.” *** TAK kurang akal, Joko tak mau membuang waktu. Ia pergi ke sentra pengrajin batik di Kampung Laweyan, Solo. Ia sengaja datang dengan tekad untuk belajar membatik pada ahlinya. Ia bertekad mengerjakannya sendiri. Dia sana, dia belajar dengan seseorang yang bernama Hadi, salah seorang pengrajin yang sudah berpengalaman.

Dia belajar ”gerak cepat”. Jika kursus batik umumnya butuh waktu 3-4 minggu untuk mendalami proses membatik, Joko hanya butuh waktu satu hari saja. Kemampuan menggambar desain selama ini ternyata memberi keuntungan. Ia lebih cepat menguasai proses membuat pola. ”Kursus kilat cuma satu hari. Harus bisa dan satu hari itu juga selesai.” Di Laweyan, Joko sadar, membatik tidak semudah yang ia bayangkan. Apalagi saat mempelajari proses pewarnaan, dengan jujur dia mengalami kesulitan. Tapi tantangan itulah yang justru memacunya untuk menyelesaikan karya dengan tangannya sendiri.

”Saya menggabungkan warna alam dan warna yang pakai bahan kimia. Sampai puluhan kali mencoba baru berhasil”.
Hingga akhirnya rumah sederhana di kompleks perumahan Pondok Raden Patah Sayung, Demak yang dia tinggali bersama keluarganya itu pun menjadi saksi kegigihannya. Ia menyulap ruang tamunya menjadi workshop dadakan. Segala macam alat untuk membatik pun dipindah ke ruang tamunya.

Semua itu ia kerjakan sendiri di sela-sela rutinitas pekerjaannya. ”Mestinya dalam satu bulan saya mengerjakan satu desain, tapi saya bikin empat, dua gagal dua berhasil Yang dibikin dulu yang sulit, baru yang lebih mudah.” Desain ”Jagat Semawis” dituangkan ke atas kain berwarna hijau. Warna yang dianggapnya teduh bagi si pemakai batik karyanya ini dia hasilkan setelah melakukan uji coba warna. ”Yang sulit melakukan pewarnaan di kain. Mencoba-coba semua warna hasilnya kurang bagus. Hingga ketemu warna hijau, hasilnya lebih oke,” ujar ayah dari Noel Lanang (13) dan Alberta Putri (10) itu.
***
INSPIRASI ”Jagat Semawis” tidak datang begitu saja. Sudah sekian lama diamdiam Lelaki kelahiran Boyolali 17 Februari 1964 ini sering memperhatikan berbagai motif kain batik termasuk batik semarangan.
Ia mengakui, desain-desain dari batik semarangan sangat bagus. Tapi ada hal yang disoroti Joko. Dia melihat hanya ikon asam, atau tugu muda saja yang sering muncul. Maka, kata Joko, memasukkan hampir semua ikon akan lebih bisa menggambarkan kota Semarang secara utuh.

Pemberian nama desain batiknya juga punya cerita tersendiri. Ide kreatifnya ini ia temukan dalam batik ”Sekar jagat” , salah satu jenis kain batik yang desain motifnya menggabungkan beberapa motif menjadi satu. Dari situlah kemudian ia memberi nama desainnya dengan nama ”Jagat Semawis”, yang artinya ”jagat Semarang”.
Selain itu, ia juga membuat desain ”Parang Warak”, desain kepala warak ngendok dengan hiasan tumpal Tugumuda di bawahnya. Dua desain miliknya masuk nominasi, dan ”Jagat Semawis” menyabet juara satu.

Ya, dalam keseharian, Joko memang dikenal kreatif. Saat punya waktu kosong, tangannya tak pernah berhenti membuat sesuatu.
”Dari dulu saya suka kerajinan. Karena siang hari saya santai dan banyak waktu luang, maka saya manfaatkan untuk berkreasi, khususnya kerajinan daur ulang.” Pantas saja jika di rumahnya banyak barang ”sampah” yang ia kumpulkan dari pemulung. Ia juga memberdayakan warga sekitar untuk membantunya.
Hasilnya, ia sempat mempunyai gerai kerajinan khusus produk daur ulang di sebuah supermarket. Berbagai produk dengan label ”Samben” dia buat, antara lain tas, sandal, tempat tisu, tempat pensil, dan undangan.

Ia juga menyuplai produk untuk mengikuti pameran kerajinan di berbagai tempat dan toko buku besar di Semarang .
Yang jelas, setelah kemenangan itu, tawaran berdatangan, mulai dari tawaran mendesain hingga mengajar batik. Tapi ada satu hal yang kini berada dalam benak Joko.

Menjadi pengrajin batik. Dan ia punya kemampuan untuk itu. ”Saya yakin, saya bisa,” ujarnya mantap. (62)

Suara Merdeka
Bebrayan_010810

9.13.2010

Eksis Dengan "Kue" Kecil

Sri Hartanti Yulianingsih

Bisnis Event Organiser (EO) di Semarang beberapa tahun terakhir ini seperti jamur di musim hujan. Keuntungan dari bisnis ini terbilang sangat menggiurkan meskipun persaingan "kejam" melingkupinya.

Tapi justru bisnis jasa inilah yang dipilih Sri Hartanti Yulianingsih (33) empat tahun terakhir ini. Dia muda, enerjetik dan bisa dibilang orangnya tidak bisa tinggal diam.

Perempuan yang akrab di sapa Tantie ini adalah Direktur CVAqsha Multi Talenta atau lebih dikenal dengan Aqsha Organizer. EO itu memfokuskan pada bidang jasa penyelenggaraan kegiatan pameran atau ekshibisi di mal, outdoor, atau kegiatan yang diselenggarakan instansi pemerintahan di beberapa daerah di Jateng.

Fokus pada kegiatan pameran memang tidak dibanyak dibidik EO-EO besar di Semarang. EO yang secara berkala menyelenggarakan event reguler dianggap lebih merepotkan dan keuntungannya yang kecil dengan ritme kerja lebih berat.

Tapi tidak demikian bagi Tantie. Ia justru menangkap peluang ini karena dia anggap lebih menguntungkan. Dalam satu bulan dia bisa menyelenggarakan di beberapa tempat. Tantie pun merasa “feeling“-nya lebih bagus jika fokus pada kegiatan pameran dibanding menyelenggarakan acara dengan skala besar. Kemantapan ini sebenarnya tidak ia dapatkan begitu saja.

Ilmu yang diperolehnya selama bekerja sebagai koordinator marketing di PRPPdia aplikasikan. Aqsha lebih memilih event reguler atau bulanan dibandingkan menggelar yang besar seperti yang dilakukan EO-EO besar lain. Menurut Tantie, dari sisi bisnis lebih menguntungkan dengan spekulasi yang relatif lebih kecil.

Persaingan ketat bisnis EO inipun mengharuskan Tantie jeli mencari peluang. Tanti menggarap pangsa pasar yang tidak banyak dilakukan para pebisnis EO. “Jumlah EO di Semarang mencapai ratusan, tapi kalau kita lihat lagi sebenarnya tidak banyak yang mampu eksis.“

Menggarap event reguler ini menjadi salah satu trik Tantie agar tetap bertahan dari ketatnya persaingan bisnis. Menurutnya jalur itu ditempuh karena selama ini modalnya masih kecil. Ibaratnya, dia hanya bermain-main dengan “kue“ yang kecil saja. “Biar kecil tapi terus, jangan sampai untung kegedean habis itu drop.“

***
TANTIE mengatakan, persaingan EO pada Foto: Noni Arnee umumnya “kejam“. Maksudnya, sebagian besar orang yang berkecimpung di bidang ini cenderung individualistis dan lebih mementingkan nama sebagai bentuk branding. Dan kondisi inilah yang sebenarnya sangat dihindari Tantie. “Biasanya tak mau bekerja sama, tak mau nge-sub. Banyak yang gengsi. Padahal, sebenarnya tidak perlu idealis begitu.“

Kondisi seperti itu kemudian dibaliknya. Tantie justru sering menawarkan kerja sama sesama EO biar lebih kuat. “Tapi mereka sering khawatir namanya akan tenggelam dibalik nama OE yang mengajaknya bergabung. Padahal kalau tak dapat eventsendiri, ya kan bisa ikut eventorang.“

EO juga sering “banting harga“ atau justru block di suatu tempat misalnya di mal. Mereka menjual stan ke EO lain dengan memasang tarif harga yang membumbung sehingga EO yang bermodal kecil tidak bisa masuk. “Stan di mal besar yang strategis biasanya sudah diambil EO besar, baru kemudian mereka jual lagi kalau ada event. Itu yang merepotkan,“ Tapi menurutnya, hal itu bukan masalah besar.

“Bisnis EO itu bisnis kepercayaan. Jadi komitmen harus dijunjung tinggi. Itu yang bikin kerja sama dengan klien jadi langgeng dan bertahan.“

Kepercayaan klien sebagai salah satu modal utama mengharuskan ia terus menjaga hubungan baik dengan relasi yang pernah bekerja sama. “Ini sangat penting. Makanya klien dan relasinya kita anggap seperti sahabat sendiri.“

Aqsha Organizer pun banyak dipercaya untuk menyelenggarakan berbagai event. Di antaranya, Pameran Lawangsewu, Festival Pandanaran, dan beberapa event hari jadi sejumlah kota.

***
PEREMPUAN kelahiran Purwokerto, 24 Juli 1977 itu mengenal dunia per EO-an dimulai ketika lulus kuliah pada 2000. Tantie bekerja sebagai marketing di Indofilm yang aktif menggelar pameran di PRPP. Hingga akhirnya ia keluar dan memilih menjadi pegawai di BUMD milik Pemprov Jateng ini sebagai marketing.

Tapi seiring berjalannya waktu, Tantie merasa ritme pekerjaan yang dia lakoni tidak dinamis. Ini karena PRPPhanya menyelenggarakan event tahunan. Walhasil, banyak waktu efektif yang terbuang sia-sia.

Dengan dukungan para pengusaha besar di Semarang dan Muhammad Nopran (40), laki-laki yang dinikahinya tahun 2002 silam. Ia memutuskan berhenti dari tempat yang membesarkan namanya dan memberinya ilmu itu. “Justru mereka yang ngompori untuk bisa maju, akhirnya saya putuskan untuk keluar dari pekerjaan dan mulai merintis usaha ini.“

Tentu saja usaha yang dirintis ini juga tidak jauh dari apa yang sudah dilakukan keseharian.Bisnis EO dipilihnya. Aqsha Organizer diawali sekitar tahun 2006, selepas ia “keluar“ dari tempat yang mengenalkannya pada banyak relasi. “Meski berat tapi harus mengambil sikap. Saya ingin maju dan salah satunya dengan keluar dari pekerjaan.“

Merintis dari nol dengan modal yang dibilang kecil untuk ukuran membuat sebuah bisnis EO tak membuatnya berkecil hati. Meski tidak dimungkiri bahwa kedekatannya dengan pebisnis di Semarang sedikit banyak menguntungkan dirinya dalam merintis bisnis EO-nya. “Saya paling tidak bisa utang budi sama orang. Modal kecil, jadi pintarpintarnya mengatur strategi. Biasanya kalau tidak mampu bayar di muka, ya di dikasih persekot dulu,“ ujar perempuan berkacamata ini.

Kedekatan emosial dengan PRPPmembuatnya hingga kini masih sering diminta PRPPuntuk membantu jika ada event besar seperti pameran pembangunan yang digelar setahun sekali.

Aqsha Organizer terus eksis karena kepiawaian Tantie mengatur stategi dalam setiap konsep pameran yang digelarnya. Membangun intuisi harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya waktu dan tempat penyelenggaraan event.

“Tempat strategis, tanggal muda itu pasti akan laris. Tapi kalau konsep event jelek, ya peserta pasti sambat,“ Klien banyak puas ikut pameran yang digawangi Aqsha Organizer. Bahkan juga merasa hoki dan mendapat keuntungan luar biasa.
“Katanya aku bawa keberuntungan buat mereka karena kalau ikut pameranku mereka selalu untung,“ ujarnya terkekeh.

Tapi Tantie membantah. Menurutnya, semua event yang dijalankan akan berhasil jka mempunyai persiapan matang dan selektif agar peserta bisa menikmati keuntungan.
Di luar itu, tentu saja Tantie adalh perempuan yang sibuk. Tapi Kesibukan seabreknya tak membuat dirinya melupakan suami dan kedua buah hatinya, Keisha Dewi Aqshana (8) dan Muhammad Fadli Arfah (4). “Kami lebih mementingkan kualitas dibanding kuantitas.

Sesibuk apa pun, malam hari juga tetap sama anak,“ ujar perempuan yang membiayai kuliahnya dari menyanyi lagu country di kafe-kafe ini.
Karena kesibukan, ia juga tidak mengkhususkan hari libur sebagai hari bersama keluarga. Pasalnya event-event-nya justru sebagian besar justru diselenggarakan pada hari libur.

“Jadi bekerja sambil bermain dengan mengajak anak-anak ke pameran.“
Tapi karena anak-anak sering ditinggal, mereka jadi lebih mandiri. “Kebetulan sekeluarga suka jalan. Jadi kalau ada waktu luang, kami pasti ke luar kota.“ (62) NONI ARNEE

Bebrayan-25.07.2010

Kukuh Pada Komitmen

Mata Lea memerah. Bulir air mata mendadak menetes dari pipi perempuan berparas cantik itu. Dengan sedikit terisak, ia bercerita kepada Dinda, teman baiknya.
“Aku sudah tiga hari ini ga omongan sama Dio. Kesel banget kalau diajak bicara selalu tidak nyambung. Kayaknya yang diurusin cuman dirinya sendiri dan mobilnya,” keluh Lea.

Sudah tak terhitung lagi Lea menumpahkan curahan hatinya kepada Dinda. ”Dio sepertinya juga tidak perduli dengan aku dan anaknya. Pisah mungkin jalan terbaik,” lanjut Lea. Rumah tangga Lea (36) memang tidak sesukses karir nya sebagai supervisor di sebuah perusahaan ternama. Ia seringkali bertengkar dengan suaminya. Kesibukan keduanya ternyata tak mampu menyatukan keharmonisan rumahtangga yang sudah dibinanya 12 tahun.

Lea mengaku ingin berpisah karena merasa tak mampu lagi memendam ”sakit hati” dan memaklumi perilaku Dio suaminya yang lebih sering berada di ”luar” daripada menghabiskan waktu bersama keluarga.

”Sabar.. kalian berdua kan sangat sibuk, mungkin kurang komunikasi. Sebaiknya dibicarakan bagaimana komitmen kalian dalam membina rumah tangga. Jangan sampai berlarut-larut.” saran Dinda mengingatkan sahabatnya yang seringkali ”meledak” itu.

Sementara, sudah tiga tahun terakhir ini, setiap pukul enam pagi, Murni (64) selalu menyusuri taman kota tak jauh dari rumahnya. Kedua tangan rentanya mendorong kursi roda Darto (67), laki-laki yang sudah menikahinya selama 44 tahun itu. ”Menemani bapak menghirup udara segar, biar pikiran fresh terus,” ujar Murni.

Kebiasaan itu ia lakukan sejak Darto menderita lumpuh akibat stroke. Dengan sabar ia setia menemani dan merawat suaminya yang terkenal flamboyan dan memiliki banyak pacar saat ia masih bugar.

”Siapa lagi yang akan merawat kalau bukan istrinya. Siapa tahu kondisi bapak akan membaik,” kata perempuan yang selalu ”mengalah” ini beralasan. Kesetiaan Murni sebagai seorang perempuan dalam kultur jawa rupanya telah meluruhkan perilaku ”Don Juan” Darto yang sering membuat setiap perempuan dimanapun sakit hati.

***
Perkawinan merupakan wujud menyatunya dua sejoli ke dalam satu tujuan yang sama bernama kebahagiaan. Namun, jalan menuju kebahagiaan tentu saja tak selamanya mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan persoalan yang terkadang menggagalkan jalannya rumah-tangga.

Sebuah survei menyebutkan sebanyak 72 persen wanita pernah mempertimbangkan untuk meninggalkan pasangan mereka pada titik tertentu. Walaupun demikian, seperti dilansir Reuters, sebanyak 71 persen berharap dapat bersama suami mereka sepanjang sisa hidup mereka.

Terlepas apapun alasannya, dua hal yang sangat bertentangan ini juga dialami Lea dan Murni dalam membina bahtera rumahtangga.
Dra. Sri Mariati Deliana M.si, psikolog dari Unnes membenarkan bahwa pasangan paling bahagia sekalipun bukan berarti tidak memiliki saat-saat menyebalkan dalam pernikahan.

Namun menurutnya, semua hal itu bisa teratasi jika masing-masing pasangan bersedia kembali pada jalur pengikatan janji untuk hidup bersama sesuai norma-norma yang berlaku dengan satu tujuan, yakni untuk mencapai kebahagiaan. ” Pernikahan langgeng tidak akan terjadi begitu saja tanpa usaha dari kedua belah pihak.”
Deliana mencoba memberikan gambaran bagi setiap pasangan bagaimana mengantisipasi supaya mahligai rumah-tangga tidak goyang dan menjaga keutuhan rumah tangga hingga ke garis finis.

”Komitmen adalah kunci utama,” kata dosen psikologi Unnes ini. Artinya setiap pasangan harus menghargai komitmen atau kesepakatan yang telah dibuat bersama. Bahkan sebenarnya jika dilihat kebelakang, komitmen untuk membina rumahtangga semua tertuang dalam semua agama.

” Misalnya, kalau kita perhatikan dibuku nikah saja itu ada ketentuan yang mengatur soal bagaimana pasangan menjalani rumahtangganya tanpa ada keduabelah pihak yang merasa dirugikan.”

Maksud Deliana adalah, salah satu pihak baik perempuan maupun laki-laki tidak ada yang memaksakan keinginan yang membuat pasangan merasa tidak nyaman. Dalam perkawinan harus ada kesamaan, meski keduanya mempunyai posisi dan tanggungjawab yang berbeda.

Kondisi itu hanya bisa tercapai jika keduanya mempunyai cinta. Karena Cinta merupakan energi yang dahsyat untuk mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian pasangan. Cinta akan membantu membuang semua rintangan yang muncul di tengah perjalanan rumah tangga. ”Perkawinan yang dibangun tanpa landasan cinta sebetulnya adalah omong-kosong belaka. Meski bukan satu-satunya syarat, cinta sangat berperan dalam membangun perkawinan yang langgeng.” Maka, cinta dalam perkawinan adalah sesuatu yang mutlak dan harus.

Dengan begitu kata Deliana maka akan muncul tanggungjawab dari kedua belah pihak untuk tetap menyatukan mereka. ”Orang yang bertanggungjawab tidak akan mengingkari hal yang sudah disepakati dengan cara apapun. Dan itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah ”matang” dari sisi pemikiran.”
***
Namun menurutnya apa yang terjadi dalam sebuah perkawinan adalah sesuatu yang sangat komplek dengan berbagai persoalan yang dialami masing-masing pasangan.
Seperti yang terjadi pada Lea dan Dio, mungkin saja keputusan untuk mengakhiri biduk rumahtangganya itu ia anggap sebagai keputusan terbaik. Tapi bisa juga keputusan itu diambil karena dia belum menunjukkan kedewasaannya dalam berpikir. Meski usia perkawinan menginjak 12 tahun.
Pasangan yang belum matang akan cenderung menuju ke egosentris dan semaunya sendiri. ” Tidak mau sharing dan tidak menerima kritik dari pasangan itu akan berakibat fatal.”

Deliana menjelaskan, pernikahan yang dibangun dalam budaya akan lebih bertahan. Seperti yang dialami Murni. Dimana sebagian besar laki-laki akan lebih dominan karena pengaruh budaya patriarki. Perempuan berada dipihak yang mengalah terus, meski sebetulnya tidak nyaman. ”Ya sudah diterima saja, perempuan selalu seperti itu.”

Itu keputusan yang diambil Murni. Ia masih tetap setia bertahun-tahun mendampingi Darto meskipun ia mungkin sakit hati mengetahui suaminya yang sering bergonta-ganti pacar.

Meski pernikahan semacam itu menurut Deliana adalah pernikahan tidak sehat. Tapi kesetiaan Murni hingga usia mereka menginjak senja. adalah bukti dari sebuah komitmen yang bertanggungjawab terhadap pilihannya.”Perempuan yang selalu mengalah tidak akan merasa nyaman, meskipun dari luar terlihat baik-baik saja.”
Karena itu, jangan terlalu banyak menuntut pasangan yang hanya akan berujung pada kepentingan pribadi, sehingga tidak akan mampu menambahkan kedewasaan hubungan. Tetap bersyukurlah dalam setiap menghadapi kekalutan hidup. Sikap untuk belajar memberi yang terbaik untuk pasangan, akan semakin memperbesar kesetiaan cinta kepada pasangan.

Kesetiaan bukan merupakan suatu pilihan, tapi merupakan suatu keputusan. Jadi ketika menyatakan untuk setia, berarti harus menjaga keputusan yang telah dinyatakan itu. Tentu saja selain cinta, butuh lebih dari sekedar komitmen untuk menjalani sebuah pernikahan di saat cinta kita mulai luntur terhadap pasangan kita, disaat godaan dan masalah datang, dibutuhkan kedewasaan dan kebijakan untuk berpikir dan bertindak.

Karena mencintai adalah memberi cinta dengan ketulusan, tidak ada terselip di dalamnya, imbalan ataupun pamrih demi keuntungan pribadi. Timbal balik dari pasangan akan datang dengan sendirinya bila Anda tulus mencintainya. Dari rasa ikhlas dan tanpa pamrih, akan mampu menjaga hati untuk tetap setia. (NONI ARNEE)

Bebrayan-18.07.2010

Mendobrak Paradigma Keperawatan

Meidiana Dwidiyanti SKp Msc

Pengalaman selama tujuh tahun menjadi seorang perawat di rumah sakit mendorong perempuan kelahiran Purwokerto ini bertekad memperjuangkan nasib perawat. Keinginan itu memuncak ketika dia menjadi pengajar program studi Ilmu Keperawatan FK Undip Semarang.

Meidiana Dwidiyanti SKp Msc, begitulah nama perem puan kelahiran Purwokerto, 15 Mei 1960 ini. Dia terma suk salah seorang dari sedikit orang yang mau mendobrak paradigma lama fungsi perawat. “Kalau kita melihat kenyataan, banyak situasi menyakitkan dialami perawat,“ ujar dia mengawali perbincangan di ruang kerjanya.
Maksudnya adalah fungsi perawat sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang cenderung tidak memiliki peran dan terabaikan. Selama ini pelayanan yang dilakukan perawat hanya pada tugas melayani pengobatan, dan belum berorientasi pada pasien.

Lebih dari seperempat abad berkecimpung dalam Ilmu Keperawatan membuat Bu Mei, sapaan akrab perempuan berkerudung ini, mengetahui dan memahami seluk-beluk perawat. Dan dia beranggapan ilmu itu masih sulit berkembang karena tidak mendapat dukungan banyak pihak.

Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena perawat masih belum memiliki ruang yang cukup untuk mengembangkan ilmunya di rumah sakit. Padahal kalau ditilik kembali fungsi perawat sebenarnya lebih kompleks.

“Perawat terlalu disibukkan oleh rutinitas pengobatan pasien. Padahal, pasien memerlukan dampingan agar mendapat kekuatan ketika harus memutuskan sesuatu,“ jelasnya. Situasi tidak mendukung itu memmbuat peran perawat lebih diposisikan sebagai ”kanca wingking” bagi dokter.

”Sebenarnya perawat adalah tenaga profesional yang bisa menjadi garda depan pelayanan kesehatan. Tidak hanya sebagai pembantu dokter, tapi juga kader kesehatan.” Fenomena perawat yang ”terperangkap” dalam sistem rumah sakit atau lembaga pelayanan kesehatan yang tidak baik dan ketimpangan antara pendidikan dan dunia kerja itu yang kini tengah diperjuangkan nenek dua cucu ini.
“Paradigma itu harus dirombak. Sebetulnya dalam pendidikan para perawat atau petugas kesehatan sudah dibekali hal itu, namun ketika bekerja ilmunya hilang karena sistem dan rutinitas,“ imbuh dosen yang juga menjadi anggota majelis Kode Etik Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jateng.

***
SEMANGAT untuk mendorong perawat sebagai seorang kader kesehatan inilah yang kemudian Bu Mei cetuskan dalam ide-ide segar.
Berbagai terobosan inovatif dilakukan untuk memperbarui fungsi perawat sebagai profesi yang nantinya diharapkan mempunyai standardisasi dan sertifikasi seperti dokter atau pun profesi lain.

Lantas bagaimana dia melakukannya? ”Caranya harus dengan melakukan aksi,” jawabnya tegas. Dia memulai dari kampus tempatnya mengabdi. Alumnus Master of Science in Health Care Practice, John Moores University, Liverpool, London tersebut ingin Undip Semarang memiliki pusat pengembangan holistic nursing.

”Di awali dengan mengevaluasi visi-misi di Ilmu Keperawatan FK Undip dan melakukan studi banding di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Thailand menjadi arah pengembangan di sini.” Dia melakukan berbagai proyek dengan melibatkan mahasiswa Ilmu keperawatan Undip.

Di antaranya, program Trauma Healing untuk Gempa Padang pada tahun 2009 lalu. Dia mengajak mahasiswa untuk membantu memulihkan kondisi psikis dan mengajak korban gempa bangkit kembali melalui metode terapi. ”Hasilnya sangat signifikan. Program itu dilanjutkan Unan Padang.” Dia juga menginisiasi program home care, sebuah terobosan program ”jemput bola” pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin perkotaan dengan mendatangi pasien sebagai bagian dari service learning. ”Kegiatan sosial sebagai metode pembelajaran mahasiswa sebelum terjun kedunia kerja. Dan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah, lho,” ujarnya.

Dan yang kini tengah diuji coba adalah program sistem penanggulangan gawat darurat terpadu, di mana program ini berfokus pada peran perawat sebagai kader kesehatan dan edukator dengan memberi pengetahuan dan ketrampilan pada first respondent saat ”pre-hospital”. Tujuannya agar masyarakat bisa mengatasi diri sendiri atau membantu orang lain jika butuh pertolongan sebelum dibawa ke rumah sakit. Di luar negeri metode itu sudah banyak diaplikasikan.” Dia juga mengawali bekerja sama pihak ketiga dan puluhan rumah sakit di Indonesia agar bisa diakses mahasiswa untuk menerapkan ilmu dan program pelayanan kesehatan mereka. Salah satunya, kerjasama dengan Rumah Sakit Moewardi Solo untuk penanganan penyakit kronis melalui emocional freedom theraphy.

”Ya, memang banyak kendala, tapi perlu terus diupayakan.” Sedangkan untuk program di luar kampus, Mediana telah mengembangkan Nurse Education untuk rumah sakit, dengan menyiapkan 26 nurse educator di Jawa Tengah.

”Kami juga mendidik 37 perawat puskesmas yang rata-rata masih berpendidikan D3 untuk menjadi perawat profesional. Baru kali pertama, tapi target kita tahun 2011 sudah ada networking.” Menurutnya, semua program yang dijalankan itu adalah bagian dari metode student centered learning, yakni metode pembelajaran yang berorientasi pada mahasiswa untuk mencapai kompetensi tertentu. Metode yang dia terapkan pada mahasiswanya ini kemudian akan diaplikasikan di seluruh fakultas di Undip.

”Semoga nantinya perawat tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dokter tapi sudah bisa menjadi mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan. Itu mimpi kami,” tandasnya.

Boleh dibilang semua waktu yang dimiliki Meidiana di dedikasikan untuk kampus, terlebih lagi sepeninggal suami tercintanya delapan tahun lalu. ”Anak-anak juga sudah besar semua jadi tidak perlu perhatian khusus,” imbuh ibu dari Nova Hasani Furdiyanti, Kharisma Hilmi Rasyidi, dan Arief Rahadian itu.

Dan apa yang telah dia perjuangkan sekian lama perlahan-lahan membuahkan hasil. Tapi memang, pengembangan perawat memunculkan reaksi beragam. ”Sekarang ini kayaknya ada kondisi benci tapi rindu. Dibenci dokter karena perawat seperti mengambil peran dokter tapi dirindu pasien karena perawat sangat dibutuhkan pasien,” ucap anggota tim kesehatan PKPU dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatanan Indonesia (YPKKI) itu sambil tertawa.

Jadi, perawat tidak terpaku pada tugas-tugas pelayanan pengobatan di rumah sakit atau Puskesmas. Tapi mulai merambah tugas-tugas pendidikan kesehatan bagi masyarakat.

Apa yang dia lakukan sebenarnya bermuara satu: agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang baik. (62) ■ NONIARNEE

Bebrayan-11.07.2010

Liburan Tanpa Orang Tua

Sudah lima hari Lutfi (7) mengalami kebosanan. Pasalnya, bocah kelas 1 SD ini hanya menghabiskan liburan di rumah bersama pembantunya. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan selain menon ton televisi dan sesekali bermain dengan Dimas (8), teman sebaya yang tinggal di sebelah rumah.

Ma, bosan di rumah. Main ke tempat Mas Alfin, ya? Please…,” rengek Lutfi pada ibunya sebelum wanita itu berangkat ke kantor.

Mas Alfin adalah sepupunya yang tinggal di Yogyakarta. Anna, sang ibu, menjawab, ”Tapi Mama harus bekerja dan tak bisa menemanimu liburan di tempat Mas Alfin.” Perempuan single parent itu tentu saja tak bisa melepas anaknya berlibur tanpa kehadirannya, meskipun itu di rumah kakak perempuannya sendiri. Tapi Lutfi tetap pada permintaannya meski tak ditemani mamanya. Meski awalnya kurang yakin, Anna akhirnya ”melepas” sang anak ke Yogyakarta. Itu memang liburan pertama Lutfi tanpa orang tua.

Hanya saja, ada hal positif yang bisa diambil Anna. Dia memberi kesempatan si anak belajar mandiri dan bertanggung jawab. Tentu saja, dia tak melepas begitu saja. Dia telah membekali sang anak semua kebutuhan yang mungkin diperlukan selama liburan. Dan selama berjauhan itu, Anna aktif menelepon untuk mengetahui keadaan sang anak.

Kalau liburan di rumah tanpa bisa ditemani orang tua membuat Lutfi bosan, tidak begitu halnya dengan Lucky (12) dan Happy (5).

Sedari kecil, mereka sudah terbiasa ditinggal bekerja orang tuanya. Bahkan sering beberapa hari mereka ditinggal di rumah bersama pembantu lantaran kedua orang tuanya ke luar kota untuk urusan pekerjaan.

”Yang penting di rumah ada makanan, PS, atau laptop. Itu sudah cukup buat mereka merasa asyik-asyik saja di rumah,” ujar Winda, ibu mereka.

Ya, tentu saja anak-anak butuh liburan setelah suntuk belajar di sekolah sekian lama.

Sayangnya, waktu liburan mereka sering tidak pada waktu yang sama dengan liburan orang tua mereka. Ini yang acap kali memunculkan persoalan tersendiri. Bagi orang tua yang bekerja, mengambil cuti juga bukan perkara mudah. Itu juga yang dialami Winda Sebenarnya perempuan itu ingin bisa berada di antara anak-anaknya ketika mereka libur sekolah. Dia tak ingin liburan kedua anaknya hanya dihabiskan di rumah saja.

”Saya sempat cari-cari cara untuk mengisi liburan mereka. Inginnya sih mereka punya aktivitas postif. Misalnya, summer camp. Maklum, kalau di rumah Lucky dan Happy kebanyakan main PS atau nonton televisi,” keluh Winda.

***

YA, secara umum, bagi anak-anak, liburan sekolah adalah saat yang bisa menyenangkan. Mereka membayangkan bisa menghabiskan liburan menyenangkan di tempat lain alias pergi dari rumah. Namun bagaimana jika kedua orang tua bekerja di luar rumah dan tak mendapatkan izin cuti? Lagi pula, tak semua anak bisa seperti Lutfi yang mampu mandiri liburan tanpa kehadiran orang tuanya. Begitu pula, tak semua orang tua seperti Anna yang bisa melepas anaknya begitu saja.

Benar, idealnya antara orang tua dan anak, ada perencanaan yang baik untuk menentukan waktu liburan bersama keluarga sehingga tidak perlu ada yang mengorbankan kepentingan atau tanggung jawab. Namun, sudah tentu waktu libur anak yang relatif panjang tidak akan bisa ”nyambung” dengan orang tua yang bekerja.

Pemerhati anak Nila kusumaningtyas, mencoba memberikan alternatif bagaimana mengelola kegiatan terutama pada waktu orang tua tidak mempunyai cukup waktu libur bersama. ”Orang tua harus banyak akal dan cerdas untuk mengantisipasi kejenuhan anak di rumah pada waktu musim liburan seperti sekarang ini.”

Itu agar anak-anak tetap dapat menikmati liburan walaupun orang tuanya sibuk. ”Yang penting, merencanakan jauh hari dan disesuaikan dengan keinginan anak,” imbuh perempuan yang menjadi Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Jateng tersebut.

Menurutnya, ada beberapa alternatif yang bisa diterapkan para orang tua yang bekerja.

Menikmati liburan dengan menginap atau bersama keluarga yang masih ada hubungan keluarga bisa menjadi alternatif pertama. Orang tua tidak perlu khawatir melepas anaknya untuk menikmati liburan. Akan lebih menyenangkan lagi, jika di antara sepupu ada teman yang sebaya seperti yang dilakukan Lutfi.

”Menginap di rumah paman, bibi, atau nenek/kakek dalam jangka waktu tertentu bisa menjadi sesuatu yang mengasyikkan karena berada di lingkungan lain yang berbeda dengan keseharian sang anak. Selain bisa mengusir kejenuhan, anak-anak juga belajar melihat kehidupan lain.” Craa lainnya adalah mengisi liburan dengan mengembangkan diri. Artinya, liburan anak diisi dengan kegiatan bermutu yang disesuaikan dengan bakat anak. Misalnya menghabiskan liburan dengan mengikuti kursus singkat yang kini marak diselenggarakan berbagai lembaga pendidikan. Sebeut saja pelatihan menggambar, menari, sulap, atau musik.

”Namun sebaiknya diupayakan agar anakanak menikmati kursus dengan situasi santai sehingga tidak merasa terbebani. Efek positifnya, jika si anak tertarik maka kursus itu bisa dilanjutkan setelah liburan.” ***

NILA menambahkan, bahwa rekreasi juga tidak harus dilakukan pada tempat yang jauh, tetapi bisa dilakukan di sekitar tempat tinggal. Anak-anak bisa cukup ditemani pembantu atau baby sitter yang sudah dipercaya, sehingga tidak khawatir melepas anak-anak berekreasi sendiri.

Soal bagaimana cara supaya anak tidak bosan bergantung yang mengemasnya. Dengan begitu, selain rekreasi, anak-anak pun secara otomatis akan menambah pengetahuan.

Pada kenyataannya, banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya cenderung tidak terlalu memperhatikan kebutuhan anak.

Secara psikis ini bisa mempengaruhi perkembangan anak. ”Secara psikologis anak bisa terganggu karena tidak ada tempat untuk berdiskusi dan berbagi,” ujar direktur Pusat Unggulan PAUD Pemprov Jateng ini.

Ini harus secepatnya disadari oleh para orang tua. Perlu adanya penyadaran ke orang tua mengenai kebutuhan anak mereka yang sedang tumbuh dan berkembang. Khususnya anak pada usia rentan, yakni usia prasekolah hingga sekolah menengah pertama.

Nila juga mengungkapkan, jika memang orang tua terlalu sibuk dan mengalami kesulitan untuk mengatur jadwal kegiatan anak, maka orang tua bisa meminta saran kepada guru atau pihak ketiga untuk membantu. ”Sebaiknya ada pihak ketiga yang ikut terlibat. Bisa guru atau keluarga.” Jadi untuk menghindari kekacauan dalam mengisi liburan ini, orang tua perlu bersikap lebih cerdik dalam mengatur strategi untuk kebutuhan anak-anak mereka. Kedua orang tua bisa berdiskusi dengan buah hati apa yang terbaik buat anak. Dan sangat disayangkan jika anak tidak memanfaatkan waktu liburan mereka dengan maksimal.

Bebrayan-04.07.2010

Memetik Buah Ketekunan

Ir. Ign Nelwan Hendarto

Namanya tidak asing lagi di dunia property di Semarang. Wajar saja, sosok yang dikenal ”gila kerja” oleh istrinya ini, telah malang melintang sejak 23 tahun lalu menggeluti dunia yang sudah dicita-citakan dan menjadi impiannya sejak kecil. Sebagai seorang developer atau pengembang perumahan, Nelwan hendarto bisa dibilang cukup banyak makan asam garam.

Tapi jangan salah, jika semua yang dijalani dan dilakukan ini adalah buah dari ketekunannya merintis usaha sejak ia tamat Perguruan Tinggi jurusan teknik sipil Universitas Atmajaya Yogyakarta.

”Harus tekun dan tidak mengeluh. Apapun pekerjaan yang ada di depan kita harus diselesaikan dengan baik,” ucap Nelwan mengungkapkan salah satu kunci keberhasilannya ketika berbincang malam itu di ruang kerjanya. Ia tetap bugar, meski rutinitas pekerjaan menyita waktunya.

Ketekunan, menjadi salah satu prinsip yang selalu dipegang pria asli kelahiran Semarang 15 Agustus 1959 ini sehingga karya dan inovasinya, cukup dipertimbangkan. ”Jam terbang” yang cukup tinggi membuat ia jeli melihat kebutuhan masyarakat akan hunian yang sesuai dengan kebutuhan.

Bebrayan-27.06.2010

Pornografi dan Destruksi Mental Anak

Pemberitaan besar-besaran mengenai video porno artis tak pelak memang menjadi perbincangan hangat. Dari orang sekelas menteri, obrolan ibu-ibu di kompleks, di sekolah hingga warung kopi, semua membicarakan pesohor yang ada dalam video itu.

Dengarkan saja ketika ibu-ibu di kompleks berkomentar soal itu, atau sekolah yang tiba-tiba ramai merazia telepon genggam milik siswa.

Lantas bagaimana dengan anak-anak? Apakah mereka juga tergelitik ingin mencari tahu? Dan bagaimana sebaiknya membentengi mereka untuk tidak tergoda dengan hal-hal yang bukan diperuntukkan bagi mereka? Beberapa cerita di bawah ini adalah contoh bagaimana tayangan video porno dapat dengan mudah menjadi bagian dari keseharian anak-anak kita.

‘’Saya sampai merinding waktu melihat beritanya di televisi,’’ujar Ny Tia kepada tetangganya. Dia mulai gerah dan khawatir anaknya penasaran dan ingin tahu video syur itu. Maklum, dia mempunyai anak yang baru duduk di bangku SMP.

‘’Saya sampai wanti-wanti sama anakanak. Pokoknya jangan sampe nonton, bisa dosa nanti,’’lanjutnya.

Wanita itu berusaha meyakinkan anaknya bahwa tayangan itu tidak perlu ditonton karena tidak berguna.

‘’Aku juga curiga waktu kemarin lihat Dandy, anak Bu Farhan mainan hape sama teman-temannya. Mereka cekikak-cekikik. Jangan, jangan…,’’ujar Ny Dewi mengungkapkan kecurigaannya pada anak-anak di kompleksnya yang membawa telepon genggam.

Ya, mereka pantas untuk risau karena siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak mereka terbebas dari gambar-gambar yang tidak semestinya mereka saksikan? Kekhawatiran para ibu tersebut dinilai wajar karena hampir sebagian besar waktu dan aktivitas anak-anak terkadang kurang terpantau.

***

DI tempat lain, seperti biasa, murid-murid sebuah SMPitu mempersiapkan buku di atas meja ketika guru mereka yang terkenal killer memasuki kelas. Di jam kedua pagi itu pelajaran Bahasa Jawa segera dimulai. Tapi suasana hening tiba-tiba menjadi sedikit gaduh ketika sang guru mereka bertanya hal yang membuat siswa di kelas merasa ‘’ditelanjangi’’.

‘’Aku arep takon, sapa sing tau nonton video porno ( Saya ingin tanya, siapa di antara kalian yang pernah nonton video porno)?’’ tanya sang guru, sebut saja Bu Ani, dengan logat Jawa kental. Tak tampak keseriusan di wajahnya.

Beberapa saat, para siswa langsung saling berpandangan dan mencurigai satu sama lain.

Guru itu terus meminta murid-muridnya untuk berani jujur. Beberapa anak mulai tunjuk jari dengan malu-malu. Akhirnya hampir semua siswa mengangkat tangan dan mengacungkan telunjuknya ke atas.

Setelah semua mengaku, sang guru kemudian memberikan penjelasan mengenai dampak negatif menyaksikan hal-hal pornografis. Yang disampaikannya bisa dipahami siswanya.

‘’Saya pakai bahasa Jawa untuk memberi pengertian dan contoh bahwa hal itu tidak baik.’’ Memang, merebaknya video mesum juga membuat guru khawatir. Pasalnya, video bertipe MP4 yang dapat diunduh lewat internet dan disebarkan lewat telepon seluler (ponsel) tersebut telah menjadi konsumsi pelajar.

Menurut Bu Ani, pembahasan tentang pornografi sudah sering dilakukan pihak sekolah. Tapi apa yang dikonsumsi anak-anak tentunya di luar kontrol lembaga pendidikan karena mereka dengan mudah bisa melihat atau mencari di luar jam sekolah.

Pengawasan dan kontrol terhadap anak didik diakui memang sangat sulit. Begitu juga komunikasi orang tua dan guru yang frekuensi pertemuan hanya empat kali dalam setahun, yakni pada saat rapat komite dan pengambilan rapor.

***

KENYATAANNYA, pendididikan anak tidak seluruhnya diserahkan kepada institusi penddikan, karena anak juga bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga sebaliknya.

Pendidikan anak juga bukan melulu menjadi beban orang tua. ‘’Semuanya harus peduli,’’ kata pemerhati pendidikan Nurhadi Susilo Spd.

Keprihatinan atas merebaknya pemberitaan menyangkut peredaran video porno tentu saja dapat merusak mental generasi muda. Karena mendengar atau melihat tayangan itu akan mengganggu dan merusak prestasi belajar siswa.

‘’Dampaknya sangat luar biasa besar. Pemberitaan bertubi-tubi di berbagai media massa itu mendestruksi mental dan moral generasi muda,’’kata Nurhadi yang juga menjabat sebagai Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia Wilayah Jawa Tengah Dia mengharapkan kalangan media massa berlaku proporsional dalam memberitakan halhal yang sensitif. Sebab, media mempunyai tanggung jawab besar dalam mengarahkan masa depan masyarakat.

‘’Kurang bijaksana bila yang dieksplorasi sisi pornografinya semata,’’katanya.

Upaya preventif pun banyak dilakukan sejumlah sekolah akhir-akhir ini dengan cara merazia telepon genggam milik siswa. Menurutnya, meski cukup bagus sebagai salah satu bentuk terapi kejut , upaya itu kurang efektif.

Anak usia sekolah menggunakan cara-cara lebih lihai. Tidak hanya menonton video mesum lewat ponsel. Banyak cara mereka dapatkan.

‘’Sekolah sebaiknya membuat aturan yang tegas terhadap siswanya. Misalnya, larangan membawa telepon genggam. Itu salah satu hal positif,î.

Sebenarnya, banyak hal bisa dilakukan untuk menjauhkan anak-anak dari hal negatif dengan memberi kebebasan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat dengan pantauan dari orang tua maupun pendidik.

‘’Peran orang tua juga sangat penting untuk menjalin komunikasi dengan anak. Ajak dan bangun komunikasi yang baik dan perhatikan aktivitas anak. Meskipun bisa dibilang orang tua sering overprotected, tapi jika dikemas dengan baik dan terbuka, anak akan mengerti.’’ Seperti halnya yang dilakukan di Boarding

School SMPIT Nurul Islam Tengaran yang membuat ruang internet terbuka yang bisa diakses guru maupun siswa. Namun pihak sekolah membuat aturan bahwa itu untuk kegiatan di luar pelajaran.

`’Jam-jam untuk main game atau Facebook-an hanya seminggu sekali. Anak-anak juga dibiasakan membuka situs-situs yang bermanfaat,”ujar Nurhadi.

Anak juga diajarkan untuk belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Misalnya melalui sistem kredit poin yang diberlakukan di sekolah ini. Pelanggaran yang dikompensasi dalam ben tuk kredit poin akan diakumulasi pada waktu tertentu untuk menentukan hukuman bagi yang melanggar. Ancaman bisa dalam bentuk surat peringatan hingga dikembalikan pada orang tua. Itu sanksi yang cukup berat bagi siswa. Tapi dengan cara itu, anak akan terbiasa untuk belajar bertanggung jawab. ‘’Anak belajar mempertanggungjawabkan resiko dari setiap pilihan.

Jadi anak memahami risiko yang akan diterimanya,’’tambah Nurhadi.(62)

Bebrayan-20.06.2010

Memperjuangkan Ilmu Hukum Kesehatan

Dr Endang Wahyati Yustina SH MH

PEREMPUAN yang mengaku bertubuh tambun ini langsung menebar senyum. Tawanya renyah dan pembawaannya easy going. Apalagi, katanya, dia suka mendengarkan lagu pop Indonesia yang sedang tren di kalangan anak muda. Dr Endang Wahyati Yustina SH MH
Tapi, keseriusan perempuan humoris bernama Endang Wahy ati Yustina ini langsung terlihat ketika mulai berbicara tentang bidang ilmu yang dia gulawentah sehari-hari: Ilmu Hukum Kesehatan.

Dalam bidang keilmuan, ilmu tersebut dianggap tua. Meski begitu, “Di Indonesia ilmu ini masih belum berkembang dan dianggap asing di mata masyarakat,“ ujar Endang saat ditemui di ruang kerjanya, pekan lalu.

Menurutnya, cara pandang masyarakat terhadap ilmu itu masih bias. Alasan itulah yang mendorong dirinya begitu antusias mempelajari dan memperdalam Ilmu Hukum Kesehatan.

“Selama ini hanya dipahami dan diidentikan dengan malapraktik. Padahal jika ditelusuri, malapraktik hanya bagian kecil dari persoalan hukum kesehatan.“
Padahal, hukum kesehatan mempunyai ruang lingkup yang luas. Misalnya menyangkut atau berkaitan dengan kebijakan dalam dunia kesehatan, fungsi layanan publik atau sebagai pelayanan kesehatan. “Pokoknya, sangat menarik karena bisa dipotret dari sisi mana pun.“

Walhasil, berbagai terobosan pun dilakukan bersama rekan-rekannya untuk memberikan pemahaman dan pencerahan kepada rumah sakit, masyarakat, bahkan penegak hukum yang menyangkut aktivitas hukum di bidang kesehatan. Tak tanggung-tanggung, selain sibuk mengajar di beberapa perguruan tinggi, dosen yang baru mendapat predikat doktor dari Universitas Katolik Parahyangan dengan disertasi berjudul Akreditasi Rumah Sakit sebagai Unsur Pengawasan dan Asas Pelayanan Kesehatan yang Optimal ini rela menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk memperjuangkan bidang keilmuannya. Dia berkeliling ke berbagai rumah sakit demi melakukan sosialisasi dan penyuluhan aspek hukum bahwa hukum kesehatan itu urgen. Perempuan kelahiran Salatiga, 24 Oktober 1959 itu juga berkeliling Eropa dan berbagai kota di dalam dan luar negeri untuk melakukan studi banding mengenai bidang tersebut. Itu semua dilakukan sebagai wujud totalitas dedikasinya untuk membuktikan bahwa Ilmu Hukum Kesehatan sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dipelajari.

***
ENDANG adalah salah seorang penggagas program Magister ilmu hukum kesehatan di Unika Soegijapranata Semarang pada tahun 2004. Pada awalnya, banyak kalangan pesimistis bahwa bidang ilmu akan berhasil dikem “Orang mempertanyakan ilmu jenis apa ini.

Seperti dianggap dunia lain ketika ilmu hukum dengan ketuaannya melebur dengan ilmu kesehatan yang teruji kehebatannya. Padahal kenyataannya dalam situasi seperti sekarang ini, ilmu itu sangat dibutuhkan.“

Endang dan tim penggagas pun membuat kurikulum dengan cara yang fantastis. Tidak hanya hasil penelitian, seminar dan workshop yang menjadi pedoman, tapi juga mencomot dan mengadopsi ilmu dari beberapa perguruan tinggi ternama di luar negeri.
“Kami susun kurikulum setelah melakukan kajian dengan menyebar kuisioner ke semua stakeholder. Pokoknya dari mana-mana tapi tetap disesuaikan dengan karakteristik di Indonesia.“

Ya, meski Program Magister Ilmu Hukum Kesehatan dipandang sebelah mata, kenyataannya respons mahasiswa yang masuk menjadi angkatan pertama saat itu cukup menggembirakan. “Mahasiswanya 20 orang. Untuk sebuah i ilmu baru di program magister, ini angin segar,“ ujarnya dengan tawa renyah.

Walaupun masih tergolong baru, kurikulum yang disusun terus dikembangkan sesuai t dengan kondisi. Hasilnya? “Kurikulum kami dijadikan acuan banyak perguruan tinggi lain di Indonesia. Mereka mencontoh dan mengaplikasikannya, tapi `ruh'-nya tetap berbeda. t Sebab, saat menyusun itu `ruh'atau spiritnya selalu kami simpan sebagai pedoman.“

Gebrakan Endang dan rekan-rekannya itu t tak sia-sia. Program Magister Ilmu Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata menjadi program studi yang pertama di Indonesia. Begitu pun, dalam perkembangannya, bentuk paradig t ma terhadap pelayanan kesehatan masyarakat dan individu mulai berubah.

“Sekarang semua institusi kesehatan mem i butuh itu. Jadi tidak hanya melulu soal malapraktik tapi juga terkait pajak rumah sakit, tenaga kerja, atau produk hukum peraturan internal rumah sakit,“ ungkap anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) ini.

Kondisi itulah yang akhirnya menuntut profesi seorang legal adviser di sebuah institusi kesehatan menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Disiplin ilmu hukum kesehatan ini dapat diimplementasikan untuk menangani segala persoalan tersebut. Misalnya, yang berkaitan dengan produk kebijakan atau peraturan rumah sakit.
“Hospital by law, artinya mengatur aktivitas rumah sakit, kepentingan yuridis di mana fungsi rumah sakit tidak hanya bisnis belaka tapi juga sebagai pelayan publik di bidang kesehatan,“ tandas ibu dua anak tersebut.

***
SEMAKIN banyaknya respons positif dari berbagai kalangan, khususnya dunia kesehatan, itu memberi bukti bahwa perjuangan Endang di bidang Ilmu Hukum Kesehatan tampaknya sudah membuahkan hasil. Padahal, ketertarikan ibu dari Priska Ratri Wulandari dan Fabian Singgih Wicaksono terhadap ilmu itu bermula dari keisengan dan seringnya ia berdiskusi dengan rekan dan seniornya. Beberapa orang di antaranya adalah dr Sofyan Dahlan (seorang ahli forensik), Bambang Safari (Pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah), dan mendiang Sunaryo Darsono.

Dia merintisnya dengan mendirikan Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia cabang Semarang pada 1998. Itu dia lakukan setelah melihat kenyataan bahwa dunia kesehatan sering kali terbentur berbagai persoalan hukum.

Komitmen Endang untuk terus mendalami ilmunya pun dia buktikan saat mengambil program magister dan doktoralnya.

“Yang saya teliti ini adalah apa yang saya kerjakan sehari-hari. Itu berkah karena saya tidak mengalami kesulitan. Padahal tak mudah mencari literatur untuk bidangilmu itu. Saya sering titip pada kenalan dokter yang ke luar negeri,“ ujar istri Letkol Isidorus Sihwiyono tersebut.

Yang pasti, Endang berhasil dalam multiperannya sebagai seorang akademikus, praktikan, ibu, dan seorang istri. “Semua itu berkat dukungan keluarga.“
Ya, Endang Wahyati mampu menapaki dunia hukum kesehatan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan. Meski sudah berhasil, dia masih menyimpan sebuah obsesi. Apa?
“Membuka program doktoral untuk bidang ilmu ini di Unika Soegijapranata. Pasti luar biasa.“ (62) NONI ARNEE

Bebrayan-13062010