9.13.2010

Eksis Dengan "Kue" Kecil

Sri Hartanti Yulianingsih

Bisnis Event Organiser (EO) di Semarang beberapa tahun terakhir ini seperti jamur di musim hujan. Keuntungan dari bisnis ini terbilang sangat menggiurkan meskipun persaingan "kejam" melingkupinya.

Tapi justru bisnis jasa inilah yang dipilih Sri Hartanti Yulianingsih (33) empat tahun terakhir ini. Dia muda, enerjetik dan bisa dibilang orangnya tidak bisa tinggal diam.

Perempuan yang akrab di sapa Tantie ini adalah Direktur CVAqsha Multi Talenta atau lebih dikenal dengan Aqsha Organizer. EO itu memfokuskan pada bidang jasa penyelenggaraan kegiatan pameran atau ekshibisi di mal, outdoor, atau kegiatan yang diselenggarakan instansi pemerintahan di beberapa daerah di Jateng.

Fokus pada kegiatan pameran memang tidak dibanyak dibidik EO-EO besar di Semarang. EO yang secara berkala menyelenggarakan event reguler dianggap lebih merepotkan dan keuntungannya yang kecil dengan ritme kerja lebih berat.

Tapi tidak demikian bagi Tantie. Ia justru menangkap peluang ini karena dia anggap lebih menguntungkan. Dalam satu bulan dia bisa menyelenggarakan di beberapa tempat. Tantie pun merasa “feeling“-nya lebih bagus jika fokus pada kegiatan pameran dibanding menyelenggarakan acara dengan skala besar. Kemantapan ini sebenarnya tidak ia dapatkan begitu saja.

Ilmu yang diperolehnya selama bekerja sebagai koordinator marketing di PRPPdia aplikasikan. Aqsha lebih memilih event reguler atau bulanan dibandingkan menggelar yang besar seperti yang dilakukan EO-EO besar lain. Menurut Tantie, dari sisi bisnis lebih menguntungkan dengan spekulasi yang relatif lebih kecil.

Persaingan ketat bisnis EO inipun mengharuskan Tantie jeli mencari peluang. Tanti menggarap pangsa pasar yang tidak banyak dilakukan para pebisnis EO. “Jumlah EO di Semarang mencapai ratusan, tapi kalau kita lihat lagi sebenarnya tidak banyak yang mampu eksis.“

Menggarap event reguler ini menjadi salah satu trik Tantie agar tetap bertahan dari ketatnya persaingan bisnis. Menurutnya jalur itu ditempuh karena selama ini modalnya masih kecil. Ibaratnya, dia hanya bermain-main dengan “kue“ yang kecil saja. “Biar kecil tapi terus, jangan sampai untung kegedean habis itu drop.“

***
TANTIE mengatakan, persaingan EO pada Foto: Noni Arnee umumnya “kejam“. Maksudnya, sebagian besar orang yang berkecimpung di bidang ini cenderung individualistis dan lebih mementingkan nama sebagai bentuk branding. Dan kondisi inilah yang sebenarnya sangat dihindari Tantie. “Biasanya tak mau bekerja sama, tak mau nge-sub. Banyak yang gengsi. Padahal, sebenarnya tidak perlu idealis begitu.“

Kondisi seperti itu kemudian dibaliknya. Tantie justru sering menawarkan kerja sama sesama EO biar lebih kuat. “Tapi mereka sering khawatir namanya akan tenggelam dibalik nama OE yang mengajaknya bergabung. Padahal kalau tak dapat eventsendiri, ya kan bisa ikut eventorang.“

EO juga sering “banting harga“ atau justru block di suatu tempat misalnya di mal. Mereka menjual stan ke EO lain dengan memasang tarif harga yang membumbung sehingga EO yang bermodal kecil tidak bisa masuk. “Stan di mal besar yang strategis biasanya sudah diambil EO besar, baru kemudian mereka jual lagi kalau ada event. Itu yang merepotkan,“ Tapi menurutnya, hal itu bukan masalah besar.

“Bisnis EO itu bisnis kepercayaan. Jadi komitmen harus dijunjung tinggi. Itu yang bikin kerja sama dengan klien jadi langgeng dan bertahan.“

Kepercayaan klien sebagai salah satu modal utama mengharuskan ia terus menjaga hubungan baik dengan relasi yang pernah bekerja sama. “Ini sangat penting. Makanya klien dan relasinya kita anggap seperti sahabat sendiri.“

Aqsha Organizer pun banyak dipercaya untuk menyelenggarakan berbagai event. Di antaranya, Pameran Lawangsewu, Festival Pandanaran, dan beberapa event hari jadi sejumlah kota.

***
PEREMPUAN kelahiran Purwokerto, 24 Juli 1977 itu mengenal dunia per EO-an dimulai ketika lulus kuliah pada 2000. Tantie bekerja sebagai marketing di Indofilm yang aktif menggelar pameran di PRPP. Hingga akhirnya ia keluar dan memilih menjadi pegawai di BUMD milik Pemprov Jateng ini sebagai marketing.

Tapi seiring berjalannya waktu, Tantie merasa ritme pekerjaan yang dia lakoni tidak dinamis. Ini karena PRPPhanya menyelenggarakan event tahunan. Walhasil, banyak waktu efektif yang terbuang sia-sia.

Dengan dukungan para pengusaha besar di Semarang dan Muhammad Nopran (40), laki-laki yang dinikahinya tahun 2002 silam. Ia memutuskan berhenti dari tempat yang membesarkan namanya dan memberinya ilmu itu. “Justru mereka yang ngompori untuk bisa maju, akhirnya saya putuskan untuk keluar dari pekerjaan dan mulai merintis usaha ini.“

Tentu saja usaha yang dirintis ini juga tidak jauh dari apa yang sudah dilakukan keseharian.Bisnis EO dipilihnya. Aqsha Organizer diawali sekitar tahun 2006, selepas ia “keluar“ dari tempat yang mengenalkannya pada banyak relasi. “Meski berat tapi harus mengambil sikap. Saya ingin maju dan salah satunya dengan keluar dari pekerjaan.“

Merintis dari nol dengan modal yang dibilang kecil untuk ukuran membuat sebuah bisnis EO tak membuatnya berkecil hati. Meski tidak dimungkiri bahwa kedekatannya dengan pebisnis di Semarang sedikit banyak menguntungkan dirinya dalam merintis bisnis EO-nya. “Saya paling tidak bisa utang budi sama orang. Modal kecil, jadi pintarpintarnya mengatur strategi. Biasanya kalau tidak mampu bayar di muka, ya di dikasih persekot dulu,“ ujar perempuan berkacamata ini.

Kedekatan emosial dengan PRPPmembuatnya hingga kini masih sering diminta PRPPuntuk membantu jika ada event besar seperti pameran pembangunan yang digelar setahun sekali.

Aqsha Organizer terus eksis karena kepiawaian Tantie mengatur stategi dalam setiap konsep pameran yang digelarnya. Membangun intuisi harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya waktu dan tempat penyelenggaraan event.

“Tempat strategis, tanggal muda itu pasti akan laris. Tapi kalau konsep event jelek, ya peserta pasti sambat,“ Klien banyak puas ikut pameran yang digawangi Aqsha Organizer. Bahkan juga merasa hoki dan mendapat keuntungan luar biasa.
“Katanya aku bawa keberuntungan buat mereka karena kalau ikut pameranku mereka selalu untung,“ ujarnya terkekeh.

Tapi Tantie membantah. Menurutnya, semua event yang dijalankan akan berhasil jka mempunyai persiapan matang dan selektif agar peserta bisa menikmati keuntungan.
Di luar itu, tentu saja Tantie adalh perempuan yang sibuk. Tapi Kesibukan seabreknya tak membuat dirinya melupakan suami dan kedua buah hatinya, Keisha Dewi Aqshana (8) dan Muhammad Fadli Arfah (4). “Kami lebih mementingkan kualitas dibanding kuantitas.

Sesibuk apa pun, malam hari juga tetap sama anak,“ ujar perempuan yang membiayai kuliahnya dari menyanyi lagu country di kafe-kafe ini.
Karena kesibukan, ia juga tidak mengkhususkan hari libur sebagai hari bersama keluarga. Pasalnya event-event-nya justru sebagian besar justru diselenggarakan pada hari libur.

“Jadi bekerja sambil bermain dengan mengajak anak-anak ke pameran.“
Tapi karena anak-anak sering ditinggal, mereka jadi lebih mandiri. “Kebetulan sekeluarga suka jalan. Jadi kalau ada waktu luang, kami pasti ke luar kota.“ (62) NONI ARNEE

Bebrayan-25.07.2010

Kukuh Pada Komitmen

Mata Lea memerah. Bulir air mata mendadak menetes dari pipi perempuan berparas cantik itu. Dengan sedikit terisak, ia bercerita kepada Dinda, teman baiknya.
“Aku sudah tiga hari ini ga omongan sama Dio. Kesel banget kalau diajak bicara selalu tidak nyambung. Kayaknya yang diurusin cuman dirinya sendiri dan mobilnya,” keluh Lea.

Sudah tak terhitung lagi Lea menumpahkan curahan hatinya kepada Dinda. ”Dio sepertinya juga tidak perduli dengan aku dan anaknya. Pisah mungkin jalan terbaik,” lanjut Lea. Rumah tangga Lea (36) memang tidak sesukses karir nya sebagai supervisor di sebuah perusahaan ternama. Ia seringkali bertengkar dengan suaminya. Kesibukan keduanya ternyata tak mampu menyatukan keharmonisan rumahtangga yang sudah dibinanya 12 tahun.

Lea mengaku ingin berpisah karena merasa tak mampu lagi memendam ”sakit hati” dan memaklumi perilaku Dio suaminya yang lebih sering berada di ”luar” daripada menghabiskan waktu bersama keluarga.

”Sabar.. kalian berdua kan sangat sibuk, mungkin kurang komunikasi. Sebaiknya dibicarakan bagaimana komitmen kalian dalam membina rumah tangga. Jangan sampai berlarut-larut.” saran Dinda mengingatkan sahabatnya yang seringkali ”meledak” itu.

Sementara, sudah tiga tahun terakhir ini, setiap pukul enam pagi, Murni (64) selalu menyusuri taman kota tak jauh dari rumahnya. Kedua tangan rentanya mendorong kursi roda Darto (67), laki-laki yang sudah menikahinya selama 44 tahun itu. ”Menemani bapak menghirup udara segar, biar pikiran fresh terus,” ujar Murni.

Kebiasaan itu ia lakukan sejak Darto menderita lumpuh akibat stroke. Dengan sabar ia setia menemani dan merawat suaminya yang terkenal flamboyan dan memiliki banyak pacar saat ia masih bugar.

”Siapa lagi yang akan merawat kalau bukan istrinya. Siapa tahu kondisi bapak akan membaik,” kata perempuan yang selalu ”mengalah” ini beralasan. Kesetiaan Murni sebagai seorang perempuan dalam kultur jawa rupanya telah meluruhkan perilaku ”Don Juan” Darto yang sering membuat setiap perempuan dimanapun sakit hati.

***
Perkawinan merupakan wujud menyatunya dua sejoli ke dalam satu tujuan yang sama bernama kebahagiaan. Namun, jalan menuju kebahagiaan tentu saja tak selamanya mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan persoalan yang terkadang menggagalkan jalannya rumah-tangga.

Sebuah survei menyebutkan sebanyak 72 persen wanita pernah mempertimbangkan untuk meninggalkan pasangan mereka pada titik tertentu. Walaupun demikian, seperti dilansir Reuters, sebanyak 71 persen berharap dapat bersama suami mereka sepanjang sisa hidup mereka.

Terlepas apapun alasannya, dua hal yang sangat bertentangan ini juga dialami Lea dan Murni dalam membina bahtera rumahtangga.
Dra. Sri Mariati Deliana M.si, psikolog dari Unnes membenarkan bahwa pasangan paling bahagia sekalipun bukan berarti tidak memiliki saat-saat menyebalkan dalam pernikahan.

Namun menurutnya, semua hal itu bisa teratasi jika masing-masing pasangan bersedia kembali pada jalur pengikatan janji untuk hidup bersama sesuai norma-norma yang berlaku dengan satu tujuan, yakni untuk mencapai kebahagiaan. ” Pernikahan langgeng tidak akan terjadi begitu saja tanpa usaha dari kedua belah pihak.”
Deliana mencoba memberikan gambaran bagi setiap pasangan bagaimana mengantisipasi supaya mahligai rumah-tangga tidak goyang dan menjaga keutuhan rumah tangga hingga ke garis finis.

”Komitmen adalah kunci utama,” kata dosen psikologi Unnes ini. Artinya setiap pasangan harus menghargai komitmen atau kesepakatan yang telah dibuat bersama. Bahkan sebenarnya jika dilihat kebelakang, komitmen untuk membina rumahtangga semua tertuang dalam semua agama.

” Misalnya, kalau kita perhatikan dibuku nikah saja itu ada ketentuan yang mengatur soal bagaimana pasangan menjalani rumahtangganya tanpa ada keduabelah pihak yang merasa dirugikan.”

Maksud Deliana adalah, salah satu pihak baik perempuan maupun laki-laki tidak ada yang memaksakan keinginan yang membuat pasangan merasa tidak nyaman. Dalam perkawinan harus ada kesamaan, meski keduanya mempunyai posisi dan tanggungjawab yang berbeda.

Kondisi itu hanya bisa tercapai jika keduanya mempunyai cinta. Karena Cinta merupakan energi yang dahsyat untuk mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian pasangan. Cinta akan membantu membuang semua rintangan yang muncul di tengah perjalanan rumah tangga. ”Perkawinan yang dibangun tanpa landasan cinta sebetulnya adalah omong-kosong belaka. Meski bukan satu-satunya syarat, cinta sangat berperan dalam membangun perkawinan yang langgeng.” Maka, cinta dalam perkawinan adalah sesuatu yang mutlak dan harus.

Dengan begitu kata Deliana maka akan muncul tanggungjawab dari kedua belah pihak untuk tetap menyatukan mereka. ”Orang yang bertanggungjawab tidak akan mengingkari hal yang sudah disepakati dengan cara apapun. Dan itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah ”matang” dari sisi pemikiran.”
***
Namun menurutnya apa yang terjadi dalam sebuah perkawinan adalah sesuatu yang sangat komplek dengan berbagai persoalan yang dialami masing-masing pasangan.
Seperti yang terjadi pada Lea dan Dio, mungkin saja keputusan untuk mengakhiri biduk rumahtangganya itu ia anggap sebagai keputusan terbaik. Tapi bisa juga keputusan itu diambil karena dia belum menunjukkan kedewasaannya dalam berpikir. Meski usia perkawinan menginjak 12 tahun.
Pasangan yang belum matang akan cenderung menuju ke egosentris dan semaunya sendiri. ” Tidak mau sharing dan tidak menerima kritik dari pasangan itu akan berakibat fatal.”

Deliana menjelaskan, pernikahan yang dibangun dalam budaya akan lebih bertahan. Seperti yang dialami Murni. Dimana sebagian besar laki-laki akan lebih dominan karena pengaruh budaya patriarki. Perempuan berada dipihak yang mengalah terus, meski sebetulnya tidak nyaman. ”Ya sudah diterima saja, perempuan selalu seperti itu.”

Itu keputusan yang diambil Murni. Ia masih tetap setia bertahun-tahun mendampingi Darto meskipun ia mungkin sakit hati mengetahui suaminya yang sering bergonta-ganti pacar.

Meski pernikahan semacam itu menurut Deliana adalah pernikahan tidak sehat. Tapi kesetiaan Murni hingga usia mereka menginjak senja. adalah bukti dari sebuah komitmen yang bertanggungjawab terhadap pilihannya.”Perempuan yang selalu mengalah tidak akan merasa nyaman, meskipun dari luar terlihat baik-baik saja.”
Karena itu, jangan terlalu banyak menuntut pasangan yang hanya akan berujung pada kepentingan pribadi, sehingga tidak akan mampu menambahkan kedewasaan hubungan. Tetap bersyukurlah dalam setiap menghadapi kekalutan hidup. Sikap untuk belajar memberi yang terbaik untuk pasangan, akan semakin memperbesar kesetiaan cinta kepada pasangan.

Kesetiaan bukan merupakan suatu pilihan, tapi merupakan suatu keputusan. Jadi ketika menyatakan untuk setia, berarti harus menjaga keputusan yang telah dinyatakan itu. Tentu saja selain cinta, butuh lebih dari sekedar komitmen untuk menjalani sebuah pernikahan di saat cinta kita mulai luntur terhadap pasangan kita, disaat godaan dan masalah datang, dibutuhkan kedewasaan dan kebijakan untuk berpikir dan bertindak.

Karena mencintai adalah memberi cinta dengan ketulusan, tidak ada terselip di dalamnya, imbalan ataupun pamrih demi keuntungan pribadi. Timbal balik dari pasangan akan datang dengan sendirinya bila Anda tulus mencintainya. Dari rasa ikhlas dan tanpa pamrih, akan mampu menjaga hati untuk tetap setia. (NONI ARNEE)

Bebrayan-18.07.2010

Mendobrak Paradigma Keperawatan

Meidiana Dwidiyanti SKp Msc

Pengalaman selama tujuh tahun menjadi seorang perawat di rumah sakit mendorong perempuan kelahiran Purwokerto ini bertekad memperjuangkan nasib perawat. Keinginan itu memuncak ketika dia menjadi pengajar program studi Ilmu Keperawatan FK Undip Semarang.

Meidiana Dwidiyanti SKp Msc, begitulah nama perem puan kelahiran Purwokerto, 15 Mei 1960 ini. Dia terma suk salah seorang dari sedikit orang yang mau mendobrak paradigma lama fungsi perawat. “Kalau kita melihat kenyataan, banyak situasi menyakitkan dialami perawat,“ ujar dia mengawali perbincangan di ruang kerjanya.
Maksudnya adalah fungsi perawat sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang cenderung tidak memiliki peran dan terabaikan. Selama ini pelayanan yang dilakukan perawat hanya pada tugas melayani pengobatan, dan belum berorientasi pada pasien.

Lebih dari seperempat abad berkecimpung dalam Ilmu Keperawatan membuat Bu Mei, sapaan akrab perempuan berkerudung ini, mengetahui dan memahami seluk-beluk perawat. Dan dia beranggapan ilmu itu masih sulit berkembang karena tidak mendapat dukungan banyak pihak.

Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena perawat masih belum memiliki ruang yang cukup untuk mengembangkan ilmunya di rumah sakit. Padahal kalau ditilik kembali fungsi perawat sebenarnya lebih kompleks.

“Perawat terlalu disibukkan oleh rutinitas pengobatan pasien. Padahal, pasien memerlukan dampingan agar mendapat kekuatan ketika harus memutuskan sesuatu,“ jelasnya. Situasi tidak mendukung itu memmbuat peran perawat lebih diposisikan sebagai ”kanca wingking” bagi dokter.

”Sebenarnya perawat adalah tenaga profesional yang bisa menjadi garda depan pelayanan kesehatan. Tidak hanya sebagai pembantu dokter, tapi juga kader kesehatan.” Fenomena perawat yang ”terperangkap” dalam sistem rumah sakit atau lembaga pelayanan kesehatan yang tidak baik dan ketimpangan antara pendidikan dan dunia kerja itu yang kini tengah diperjuangkan nenek dua cucu ini.
“Paradigma itu harus dirombak. Sebetulnya dalam pendidikan para perawat atau petugas kesehatan sudah dibekali hal itu, namun ketika bekerja ilmunya hilang karena sistem dan rutinitas,“ imbuh dosen yang juga menjadi anggota majelis Kode Etik Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jateng.

***
SEMANGAT untuk mendorong perawat sebagai seorang kader kesehatan inilah yang kemudian Bu Mei cetuskan dalam ide-ide segar.
Berbagai terobosan inovatif dilakukan untuk memperbarui fungsi perawat sebagai profesi yang nantinya diharapkan mempunyai standardisasi dan sertifikasi seperti dokter atau pun profesi lain.

Lantas bagaimana dia melakukannya? ”Caranya harus dengan melakukan aksi,” jawabnya tegas. Dia memulai dari kampus tempatnya mengabdi. Alumnus Master of Science in Health Care Practice, John Moores University, Liverpool, London tersebut ingin Undip Semarang memiliki pusat pengembangan holistic nursing.

”Di awali dengan mengevaluasi visi-misi di Ilmu Keperawatan FK Undip dan melakukan studi banding di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Thailand menjadi arah pengembangan di sini.” Dia melakukan berbagai proyek dengan melibatkan mahasiswa Ilmu keperawatan Undip.

Di antaranya, program Trauma Healing untuk Gempa Padang pada tahun 2009 lalu. Dia mengajak mahasiswa untuk membantu memulihkan kondisi psikis dan mengajak korban gempa bangkit kembali melalui metode terapi. ”Hasilnya sangat signifikan. Program itu dilanjutkan Unan Padang.” Dia juga menginisiasi program home care, sebuah terobosan program ”jemput bola” pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin perkotaan dengan mendatangi pasien sebagai bagian dari service learning. ”Kegiatan sosial sebagai metode pembelajaran mahasiswa sebelum terjun kedunia kerja. Dan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah, lho,” ujarnya.

Dan yang kini tengah diuji coba adalah program sistem penanggulangan gawat darurat terpadu, di mana program ini berfokus pada peran perawat sebagai kader kesehatan dan edukator dengan memberi pengetahuan dan ketrampilan pada first respondent saat ”pre-hospital”. Tujuannya agar masyarakat bisa mengatasi diri sendiri atau membantu orang lain jika butuh pertolongan sebelum dibawa ke rumah sakit. Di luar negeri metode itu sudah banyak diaplikasikan.” Dia juga mengawali bekerja sama pihak ketiga dan puluhan rumah sakit di Indonesia agar bisa diakses mahasiswa untuk menerapkan ilmu dan program pelayanan kesehatan mereka. Salah satunya, kerjasama dengan Rumah Sakit Moewardi Solo untuk penanganan penyakit kronis melalui emocional freedom theraphy.

”Ya, memang banyak kendala, tapi perlu terus diupayakan.” Sedangkan untuk program di luar kampus, Mediana telah mengembangkan Nurse Education untuk rumah sakit, dengan menyiapkan 26 nurse educator di Jawa Tengah.

”Kami juga mendidik 37 perawat puskesmas yang rata-rata masih berpendidikan D3 untuk menjadi perawat profesional. Baru kali pertama, tapi target kita tahun 2011 sudah ada networking.” Menurutnya, semua program yang dijalankan itu adalah bagian dari metode student centered learning, yakni metode pembelajaran yang berorientasi pada mahasiswa untuk mencapai kompetensi tertentu. Metode yang dia terapkan pada mahasiswanya ini kemudian akan diaplikasikan di seluruh fakultas di Undip.

”Semoga nantinya perawat tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dokter tapi sudah bisa menjadi mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan. Itu mimpi kami,” tandasnya.

Boleh dibilang semua waktu yang dimiliki Meidiana di dedikasikan untuk kampus, terlebih lagi sepeninggal suami tercintanya delapan tahun lalu. ”Anak-anak juga sudah besar semua jadi tidak perlu perhatian khusus,” imbuh ibu dari Nova Hasani Furdiyanti, Kharisma Hilmi Rasyidi, dan Arief Rahadian itu.

Dan apa yang telah dia perjuangkan sekian lama perlahan-lahan membuahkan hasil. Tapi memang, pengembangan perawat memunculkan reaksi beragam. ”Sekarang ini kayaknya ada kondisi benci tapi rindu. Dibenci dokter karena perawat seperti mengambil peran dokter tapi dirindu pasien karena perawat sangat dibutuhkan pasien,” ucap anggota tim kesehatan PKPU dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatanan Indonesia (YPKKI) itu sambil tertawa.

Jadi, perawat tidak terpaku pada tugas-tugas pelayanan pengobatan di rumah sakit atau Puskesmas. Tapi mulai merambah tugas-tugas pendidikan kesehatan bagi masyarakat.

Apa yang dia lakukan sebenarnya bermuara satu: agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang baik. (62) ■ NONIARNEE

Bebrayan-11.07.2010

Liburan Tanpa Orang Tua

Sudah lima hari Lutfi (7) mengalami kebosanan. Pasalnya, bocah kelas 1 SD ini hanya menghabiskan liburan di rumah bersama pembantunya. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan selain menon ton televisi dan sesekali bermain dengan Dimas (8), teman sebaya yang tinggal di sebelah rumah.

Ma, bosan di rumah. Main ke tempat Mas Alfin, ya? Please…,” rengek Lutfi pada ibunya sebelum wanita itu berangkat ke kantor.

Mas Alfin adalah sepupunya yang tinggal di Yogyakarta. Anna, sang ibu, menjawab, ”Tapi Mama harus bekerja dan tak bisa menemanimu liburan di tempat Mas Alfin.” Perempuan single parent itu tentu saja tak bisa melepas anaknya berlibur tanpa kehadirannya, meskipun itu di rumah kakak perempuannya sendiri. Tapi Lutfi tetap pada permintaannya meski tak ditemani mamanya. Meski awalnya kurang yakin, Anna akhirnya ”melepas” sang anak ke Yogyakarta. Itu memang liburan pertama Lutfi tanpa orang tua.

Hanya saja, ada hal positif yang bisa diambil Anna. Dia memberi kesempatan si anak belajar mandiri dan bertanggung jawab. Tentu saja, dia tak melepas begitu saja. Dia telah membekali sang anak semua kebutuhan yang mungkin diperlukan selama liburan. Dan selama berjauhan itu, Anna aktif menelepon untuk mengetahui keadaan sang anak.

Kalau liburan di rumah tanpa bisa ditemani orang tua membuat Lutfi bosan, tidak begitu halnya dengan Lucky (12) dan Happy (5).

Sedari kecil, mereka sudah terbiasa ditinggal bekerja orang tuanya. Bahkan sering beberapa hari mereka ditinggal di rumah bersama pembantu lantaran kedua orang tuanya ke luar kota untuk urusan pekerjaan.

”Yang penting di rumah ada makanan, PS, atau laptop. Itu sudah cukup buat mereka merasa asyik-asyik saja di rumah,” ujar Winda, ibu mereka.

Ya, tentu saja anak-anak butuh liburan setelah suntuk belajar di sekolah sekian lama.

Sayangnya, waktu liburan mereka sering tidak pada waktu yang sama dengan liburan orang tua mereka. Ini yang acap kali memunculkan persoalan tersendiri. Bagi orang tua yang bekerja, mengambil cuti juga bukan perkara mudah. Itu juga yang dialami Winda Sebenarnya perempuan itu ingin bisa berada di antara anak-anaknya ketika mereka libur sekolah. Dia tak ingin liburan kedua anaknya hanya dihabiskan di rumah saja.

”Saya sempat cari-cari cara untuk mengisi liburan mereka. Inginnya sih mereka punya aktivitas postif. Misalnya, summer camp. Maklum, kalau di rumah Lucky dan Happy kebanyakan main PS atau nonton televisi,” keluh Winda.

***

YA, secara umum, bagi anak-anak, liburan sekolah adalah saat yang bisa menyenangkan. Mereka membayangkan bisa menghabiskan liburan menyenangkan di tempat lain alias pergi dari rumah. Namun bagaimana jika kedua orang tua bekerja di luar rumah dan tak mendapatkan izin cuti? Lagi pula, tak semua anak bisa seperti Lutfi yang mampu mandiri liburan tanpa kehadiran orang tuanya. Begitu pula, tak semua orang tua seperti Anna yang bisa melepas anaknya begitu saja.

Benar, idealnya antara orang tua dan anak, ada perencanaan yang baik untuk menentukan waktu liburan bersama keluarga sehingga tidak perlu ada yang mengorbankan kepentingan atau tanggung jawab. Namun, sudah tentu waktu libur anak yang relatif panjang tidak akan bisa ”nyambung” dengan orang tua yang bekerja.

Pemerhati anak Nila kusumaningtyas, mencoba memberikan alternatif bagaimana mengelola kegiatan terutama pada waktu orang tua tidak mempunyai cukup waktu libur bersama. ”Orang tua harus banyak akal dan cerdas untuk mengantisipasi kejenuhan anak di rumah pada waktu musim liburan seperti sekarang ini.”

Itu agar anak-anak tetap dapat menikmati liburan walaupun orang tuanya sibuk. ”Yang penting, merencanakan jauh hari dan disesuaikan dengan keinginan anak,” imbuh perempuan yang menjadi Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Jateng tersebut.

Menurutnya, ada beberapa alternatif yang bisa diterapkan para orang tua yang bekerja.

Menikmati liburan dengan menginap atau bersama keluarga yang masih ada hubungan keluarga bisa menjadi alternatif pertama. Orang tua tidak perlu khawatir melepas anaknya untuk menikmati liburan. Akan lebih menyenangkan lagi, jika di antara sepupu ada teman yang sebaya seperti yang dilakukan Lutfi.

”Menginap di rumah paman, bibi, atau nenek/kakek dalam jangka waktu tertentu bisa menjadi sesuatu yang mengasyikkan karena berada di lingkungan lain yang berbeda dengan keseharian sang anak. Selain bisa mengusir kejenuhan, anak-anak juga belajar melihat kehidupan lain.” Craa lainnya adalah mengisi liburan dengan mengembangkan diri. Artinya, liburan anak diisi dengan kegiatan bermutu yang disesuaikan dengan bakat anak. Misalnya menghabiskan liburan dengan mengikuti kursus singkat yang kini marak diselenggarakan berbagai lembaga pendidikan. Sebeut saja pelatihan menggambar, menari, sulap, atau musik.

”Namun sebaiknya diupayakan agar anakanak menikmati kursus dengan situasi santai sehingga tidak merasa terbebani. Efek positifnya, jika si anak tertarik maka kursus itu bisa dilanjutkan setelah liburan.” ***

NILA menambahkan, bahwa rekreasi juga tidak harus dilakukan pada tempat yang jauh, tetapi bisa dilakukan di sekitar tempat tinggal. Anak-anak bisa cukup ditemani pembantu atau baby sitter yang sudah dipercaya, sehingga tidak khawatir melepas anak-anak berekreasi sendiri.

Soal bagaimana cara supaya anak tidak bosan bergantung yang mengemasnya. Dengan begitu, selain rekreasi, anak-anak pun secara otomatis akan menambah pengetahuan.

Pada kenyataannya, banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya cenderung tidak terlalu memperhatikan kebutuhan anak.

Secara psikis ini bisa mempengaruhi perkembangan anak. ”Secara psikologis anak bisa terganggu karena tidak ada tempat untuk berdiskusi dan berbagi,” ujar direktur Pusat Unggulan PAUD Pemprov Jateng ini.

Ini harus secepatnya disadari oleh para orang tua. Perlu adanya penyadaran ke orang tua mengenai kebutuhan anak mereka yang sedang tumbuh dan berkembang. Khususnya anak pada usia rentan, yakni usia prasekolah hingga sekolah menengah pertama.

Nila juga mengungkapkan, jika memang orang tua terlalu sibuk dan mengalami kesulitan untuk mengatur jadwal kegiatan anak, maka orang tua bisa meminta saran kepada guru atau pihak ketiga untuk membantu. ”Sebaiknya ada pihak ketiga yang ikut terlibat. Bisa guru atau keluarga.” Jadi untuk menghindari kekacauan dalam mengisi liburan ini, orang tua perlu bersikap lebih cerdik dalam mengatur strategi untuk kebutuhan anak-anak mereka. Kedua orang tua bisa berdiskusi dengan buah hati apa yang terbaik buat anak. Dan sangat disayangkan jika anak tidak memanfaatkan waktu liburan mereka dengan maksimal.

Bebrayan-04.07.2010

Memetik Buah Ketekunan

Ir. Ign Nelwan Hendarto

Namanya tidak asing lagi di dunia property di Semarang. Wajar saja, sosok yang dikenal ”gila kerja” oleh istrinya ini, telah malang melintang sejak 23 tahun lalu menggeluti dunia yang sudah dicita-citakan dan menjadi impiannya sejak kecil. Sebagai seorang developer atau pengembang perumahan, Nelwan hendarto bisa dibilang cukup banyak makan asam garam.

Tapi jangan salah, jika semua yang dijalani dan dilakukan ini adalah buah dari ketekunannya merintis usaha sejak ia tamat Perguruan Tinggi jurusan teknik sipil Universitas Atmajaya Yogyakarta.

”Harus tekun dan tidak mengeluh. Apapun pekerjaan yang ada di depan kita harus diselesaikan dengan baik,” ucap Nelwan mengungkapkan salah satu kunci keberhasilannya ketika berbincang malam itu di ruang kerjanya. Ia tetap bugar, meski rutinitas pekerjaan menyita waktunya.

Ketekunan, menjadi salah satu prinsip yang selalu dipegang pria asli kelahiran Semarang 15 Agustus 1959 ini sehingga karya dan inovasinya, cukup dipertimbangkan. ”Jam terbang” yang cukup tinggi membuat ia jeli melihat kebutuhan masyarakat akan hunian yang sesuai dengan kebutuhan.

Bebrayan-27.06.2010

Pornografi dan Destruksi Mental Anak

Pemberitaan besar-besaran mengenai video porno artis tak pelak memang menjadi perbincangan hangat. Dari orang sekelas menteri, obrolan ibu-ibu di kompleks, di sekolah hingga warung kopi, semua membicarakan pesohor yang ada dalam video itu.

Dengarkan saja ketika ibu-ibu di kompleks berkomentar soal itu, atau sekolah yang tiba-tiba ramai merazia telepon genggam milik siswa.

Lantas bagaimana dengan anak-anak? Apakah mereka juga tergelitik ingin mencari tahu? Dan bagaimana sebaiknya membentengi mereka untuk tidak tergoda dengan hal-hal yang bukan diperuntukkan bagi mereka? Beberapa cerita di bawah ini adalah contoh bagaimana tayangan video porno dapat dengan mudah menjadi bagian dari keseharian anak-anak kita.

‘’Saya sampai merinding waktu melihat beritanya di televisi,’’ujar Ny Tia kepada tetangganya. Dia mulai gerah dan khawatir anaknya penasaran dan ingin tahu video syur itu. Maklum, dia mempunyai anak yang baru duduk di bangku SMP.

‘’Saya sampai wanti-wanti sama anakanak. Pokoknya jangan sampe nonton, bisa dosa nanti,’’lanjutnya.

Wanita itu berusaha meyakinkan anaknya bahwa tayangan itu tidak perlu ditonton karena tidak berguna.

‘’Aku juga curiga waktu kemarin lihat Dandy, anak Bu Farhan mainan hape sama teman-temannya. Mereka cekikak-cekikik. Jangan, jangan…,’’ujar Ny Dewi mengungkapkan kecurigaannya pada anak-anak di kompleksnya yang membawa telepon genggam.

Ya, mereka pantas untuk risau karena siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak mereka terbebas dari gambar-gambar yang tidak semestinya mereka saksikan? Kekhawatiran para ibu tersebut dinilai wajar karena hampir sebagian besar waktu dan aktivitas anak-anak terkadang kurang terpantau.

***

DI tempat lain, seperti biasa, murid-murid sebuah SMPitu mempersiapkan buku di atas meja ketika guru mereka yang terkenal killer memasuki kelas. Di jam kedua pagi itu pelajaran Bahasa Jawa segera dimulai. Tapi suasana hening tiba-tiba menjadi sedikit gaduh ketika sang guru mereka bertanya hal yang membuat siswa di kelas merasa ‘’ditelanjangi’’.

‘’Aku arep takon, sapa sing tau nonton video porno ( Saya ingin tanya, siapa di antara kalian yang pernah nonton video porno)?’’ tanya sang guru, sebut saja Bu Ani, dengan logat Jawa kental. Tak tampak keseriusan di wajahnya.

Beberapa saat, para siswa langsung saling berpandangan dan mencurigai satu sama lain.

Guru itu terus meminta murid-muridnya untuk berani jujur. Beberapa anak mulai tunjuk jari dengan malu-malu. Akhirnya hampir semua siswa mengangkat tangan dan mengacungkan telunjuknya ke atas.

Setelah semua mengaku, sang guru kemudian memberikan penjelasan mengenai dampak negatif menyaksikan hal-hal pornografis. Yang disampaikannya bisa dipahami siswanya.

‘’Saya pakai bahasa Jawa untuk memberi pengertian dan contoh bahwa hal itu tidak baik.’’ Memang, merebaknya video mesum juga membuat guru khawatir. Pasalnya, video bertipe MP4 yang dapat diunduh lewat internet dan disebarkan lewat telepon seluler (ponsel) tersebut telah menjadi konsumsi pelajar.

Menurut Bu Ani, pembahasan tentang pornografi sudah sering dilakukan pihak sekolah. Tapi apa yang dikonsumsi anak-anak tentunya di luar kontrol lembaga pendidikan karena mereka dengan mudah bisa melihat atau mencari di luar jam sekolah.

Pengawasan dan kontrol terhadap anak didik diakui memang sangat sulit. Begitu juga komunikasi orang tua dan guru yang frekuensi pertemuan hanya empat kali dalam setahun, yakni pada saat rapat komite dan pengambilan rapor.

***

KENYATAANNYA, pendididikan anak tidak seluruhnya diserahkan kepada institusi penddikan, karena anak juga bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga sebaliknya.

Pendidikan anak juga bukan melulu menjadi beban orang tua. ‘’Semuanya harus peduli,’’ kata pemerhati pendidikan Nurhadi Susilo Spd.

Keprihatinan atas merebaknya pemberitaan menyangkut peredaran video porno tentu saja dapat merusak mental generasi muda. Karena mendengar atau melihat tayangan itu akan mengganggu dan merusak prestasi belajar siswa.

‘’Dampaknya sangat luar biasa besar. Pemberitaan bertubi-tubi di berbagai media massa itu mendestruksi mental dan moral generasi muda,’’kata Nurhadi yang juga menjabat sebagai Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia Wilayah Jawa Tengah Dia mengharapkan kalangan media massa berlaku proporsional dalam memberitakan halhal yang sensitif. Sebab, media mempunyai tanggung jawab besar dalam mengarahkan masa depan masyarakat.

‘’Kurang bijaksana bila yang dieksplorasi sisi pornografinya semata,’’katanya.

Upaya preventif pun banyak dilakukan sejumlah sekolah akhir-akhir ini dengan cara merazia telepon genggam milik siswa. Menurutnya, meski cukup bagus sebagai salah satu bentuk terapi kejut , upaya itu kurang efektif.

Anak usia sekolah menggunakan cara-cara lebih lihai. Tidak hanya menonton video mesum lewat ponsel. Banyak cara mereka dapatkan.

‘’Sekolah sebaiknya membuat aturan yang tegas terhadap siswanya. Misalnya, larangan membawa telepon genggam. Itu salah satu hal positif,î.

Sebenarnya, banyak hal bisa dilakukan untuk menjauhkan anak-anak dari hal negatif dengan memberi kebebasan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat dengan pantauan dari orang tua maupun pendidik.

‘’Peran orang tua juga sangat penting untuk menjalin komunikasi dengan anak. Ajak dan bangun komunikasi yang baik dan perhatikan aktivitas anak. Meskipun bisa dibilang orang tua sering overprotected, tapi jika dikemas dengan baik dan terbuka, anak akan mengerti.’’ Seperti halnya yang dilakukan di Boarding

School SMPIT Nurul Islam Tengaran yang membuat ruang internet terbuka yang bisa diakses guru maupun siswa. Namun pihak sekolah membuat aturan bahwa itu untuk kegiatan di luar pelajaran.

`’Jam-jam untuk main game atau Facebook-an hanya seminggu sekali. Anak-anak juga dibiasakan membuka situs-situs yang bermanfaat,”ujar Nurhadi.

Anak juga diajarkan untuk belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Misalnya melalui sistem kredit poin yang diberlakukan di sekolah ini. Pelanggaran yang dikompensasi dalam ben tuk kredit poin akan diakumulasi pada waktu tertentu untuk menentukan hukuman bagi yang melanggar. Ancaman bisa dalam bentuk surat peringatan hingga dikembalikan pada orang tua. Itu sanksi yang cukup berat bagi siswa. Tapi dengan cara itu, anak akan terbiasa untuk belajar bertanggung jawab. ‘’Anak belajar mempertanggungjawabkan resiko dari setiap pilihan.

Jadi anak memahami risiko yang akan diterimanya,’’tambah Nurhadi.(62)

Bebrayan-20.06.2010

Memperjuangkan Ilmu Hukum Kesehatan

Dr Endang Wahyati Yustina SH MH

PEREMPUAN yang mengaku bertubuh tambun ini langsung menebar senyum. Tawanya renyah dan pembawaannya easy going. Apalagi, katanya, dia suka mendengarkan lagu pop Indonesia yang sedang tren di kalangan anak muda. Dr Endang Wahyati Yustina SH MH
Tapi, keseriusan perempuan humoris bernama Endang Wahy ati Yustina ini langsung terlihat ketika mulai berbicara tentang bidang ilmu yang dia gulawentah sehari-hari: Ilmu Hukum Kesehatan.

Dalam bidang keilmuan, ilmu tersebut dianggap tua. Meski begitu, “Di Indonesia ilmu ini masih belum berkembang dan dianggap asing di mata masyarakat,“ ujar Endang saat ditemui di ruang kerjanya, pekan lalu.

Menurutnya, cara pandang masyarakat terhadap ilmu itu masih bias. Alasan itulah yang mendorong dirinya begitu antusias mempelajari dan memperdalam Ilmu Hukum Kesehatan.

“Selama ini hanya dipahami dan diidentikan dengan malapraktik. Padahal jika ditelusuri, malapraktik hanya bagian kecil dari persoalan hukum kesehatan.“
Padahal, hukum kesehatan mempunyai ruang lingkup yang luas. Misalnya menyangkut atau berkaitan dengan kebijakan dalam dunia kesehatan, fungsi layanan publik atau sebagai pelayanan kesehatan. “Pokoknya, sangat menarik karena bisa dipotret dari sisi mana pun.“

Walhasil, berbagai terobosan pun dilakukan bersama rekan-rekannya untuk memberikan pemahaman dan pencerahan kepada rumah sakit, masyarakat, bahkan penegak hukum yang menyangkut aktivitas hukum di bidang kesehatan. Tak tanggung-tanggung, selain sibuk mengajar di beberapa perguruan tinggi, dosen yang baru mendapat predikat doktor dari Universitas Katolik Parahyangan dengan disertasi berjudul Akreditasi Rumah Sakit sebagai Unsur Pengawasan dan Asas Pelayanan Kesehatan yang Optimal ini rela menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk memperjuangkan bidang keilmuannya. Dia berkeliling ke berbagai rumah sakit demi melakukan sosialisasi dan penyuluhan aspek hukum bahwa hukum kesehatan itu urgen. Perempuan kelahiran Salatiga, 24 Oktober 1959 itu juga berkeliling Eropa dan berbagai kota di dalam dan luar negeri untuk melakukan studi banding mengenai bidang tersebut. Itu semua dilakukan sebagai wujud totalitas dedikasinya untuk membuktikan bahwa Ilmu Hukum Kesehatan sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dipelajari.

***
ENDANG adalah salah seorang penggagas program Magister ilmu hukum kesehatan di Unika Soegijapranata Semarang pada tahun 2004. Pada awalnya, banyak kalangan pesimistis bahwa bidang ilmu akan berhasil dikem “Orang mempertanyakan ilmu jenis apa ini.

Seperti dianggap dunia lain ketika ilmu hukum dengan ketuaannya melebur dengan ilmu kesehatan yang teruji kehebatannya. Padahal kenyataannya dalam situasi seperti sekarang ini, ilmu itu sangat dibutuhkan.“

Endang dan tim penggagas pun membuat kurikulum dengan cara yang fantastis. Tidak hanya hasil penelitian, seminar dan workshop yang menjadi pedoman, tapi juga mencomot dan mengadopsi ilmu dari beberapa perguruan tinggi ternama di luar negeri.
“Kami susun kurikulum setelah melakukan kajian dengan menyebar kuisioner ke semua stakeholder. Pokoknya dari mana-mana tapi tetap disesuaikan dengan karakteristik di Indonesia.“

Ya, meski Program Magister Ilmu Hukum Kesehatan dipandang sebelah mata, kenyataannya respons mahasiswa yang masuk menjadi angkatan pertama saat itu cukup menggembirakan. “Mahasiswanya 20 orang. Untuk sebuah i ilmu baru di program magister, ini angin segar,“ ujarnya dengan tawa renyah.

Walaupun masih tergolong baru, kurikulum yang disusun terus dikembangkan sesuai t dengan kondisi. Hasilnya? “Kurikulum kami dijadikan acuan banyak perguruan tinggi lain di Indonesia. Mereka mencontoh dan mengaplikasikannya, tapi `ruh'-nya tetap berbeda. t Sebab, saat menyusun itu `ruh'atau spiritnya selalu kami simpan sebagai pedoman.“

Gebrakan Endang dan rekan-rekannya itu t tak sia-sia. Program Magister Ilmu Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata menjadi program studi yang pertama di Indonesia. Begitu pun, dalam perkembangannya, bentuk paradig t ma terhadap pelayanan kesehatan masyarakat dan individu mulai berubah.

“Sekarang semua institusi kesehatan mem i butuh itu. Jadi tidak hanya melulu soal malapraktik tapi juga terkait pajak rumah sakit, tenaga kerja, atau produk hukum peraturan internal rumah sakit,“ ungkap anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) ini.

Kondisi itulah yang akhirnya menuntut profesi seorang legal adviser di sebuah institusi kesehatan menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Disiplin ilmu hukum kesehatan ini dapat diimplementasikan untuk menangani segala persoalan tersebut. Misalnya, yang berkaitan dengan produk kebijakan atau peraturan rumah sakit.
“Hospital by law, artinya mengatur aktivitas rumah sakit, kepentingan yuridis di mana fungsi rumah sakit tidak hanya bisnis belaka tapi juga sebagai pelayan publik di bidang kesehatan,“ tandas ibu dua anak tersebut.

***
SEMAKIN banyaknya respons positif dari berbagai kalangan, khususnya dunia kesehatan, itu memberi bukti bahwa perjuangan Endang di bidang Ilmu Hukum Kesehatan tampaknya sudah membuahkan hasil. Padahal, ketertarikan ibu dari Priska Ratri Wulandari dan Fabian Singgih Wicaksono terhadap ilmu itu bermula dari keisengan dan seringnya ia berdiskusi dengan rekan dan seniornya. Beberapa orang di antaranya adalah dr Sofyan Dahlan (seorang ahli forensik), Bambang Safari (Pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah), dan mendiang Sunaryo Darsono.

Dia merintisnya dengan mendirikan Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia cabang Semarang pada 1998. Itu dia lakukan setelah melihat kenyataan bahwa dunia kesehatan sering kali terbentur berbagai persoalan hukum.

Komitmen Endang untuk terus mendalami ilmunya pun dia buktikan saat mengambil program magister dan doktoralnya.

“Yang saya teliti ini adalah apa yang saya kerjakan sehari-hari. Itu berkah karena saya tidak mengalami kesulitan. Padahal tak mudah mencari literatur untuk bidangilmu itu. Saya sering titip pada kenalan dokter yang ke luar negeri,“ ujar istri Letkol Isidorus Sihwiyono tersebut.

Yang pasti, Endang berhasil dalam multiperannya sebagai seorang akademikus, praktikan, ibu, dan seorang istri. “Semua itu berkat dukungan keluarga.“
Ya, Endang Wahyati mampu menapaki dunia hukum kesehatan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan. Meski sudah berhasil, dia masih menyimpan sebuah obsesi. Apa?
“Membuka program doktoral untuk bidang ilmu ini di Unika Soegijapranata. Pasti luar biasa.“ (62) NONI ARNEE

Bebrayan-13062010

Sekolah Seksualitas Untuk Remaja

Dian (16), mendatangi seorang psikolog ditemani Sylvia, ibunya. Siswi kelas 1 SMAitu mengetahui kalau dirinya hamil 4 bulan setelah beberapa hari lalu periksa ke dokter karena desakan sahabatnya ketika melihat perut Dian "membelendung".

“Ibu tidak tahu kalau anaknya hamil?“ Dengan jujur Sylvia mengaku bahwa dia terlalu sibuk bekerja dan kurang memperhatikan anak dan pergaulannya. “Saya pikir tubuh Dian berubah karena dia kan masih dalam masa pertumbuhan,“ jawab Sylvia.

Tak jauh beda dengan pengakuan mamanya, Dian tidak menyadari perubahan yang terjadi dengan dirinya, terutama di bagian perut yang semakin membesar. Dia bahkan juga tidak paham siklus menstruasinya.

“Nggak tahu, kirain sakit apa. Kemarin periksa dan dokter bilang kalau aku hamil,“ ujarnya dengan muka sedih.

Banyak ibu seperti Sylvia yang pusing memikirkan kelakuan anaknya. Mereka merasa kehamilan di luar nikah adalah aib sehingga berakhir dengan memaksa anaknya melakukan aborsi. Atau “menyembunyikan“ anaknya di suatu tempat untuk menutupi kondisi sebenarnya. “Pokoknya diaborsi, atau pergi dulu biar keluarga tidak malu,“ kata Sylvia geram.

Beda dengan Dian, Nurul siswi yang baru lulus SMAdi Yogyakarta ini justru tertarik untuk bergabung di Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi yang ada di kawasan Kota Gede, Yogyakarta. Dia ingin tahu hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas dan reproduksi.
“Kalau di rumah seks dianggap tabu dan nggak penting. Di sekolah pun materi organ reproduksi tidak dijelaskan detail,“ ungkap Nurul.

Pada awalnya ia risih dengan materi yang diberikan sekolah seksualitas tersebut. “Kaget dan terkejut. Apalagi ada alat peraganya, kok benar-benar nyata. Misalnya pengenalan organ reproduksi, praktik pemeriksaan payudara atau cara pemakaian alat kontrasepsi kondom dengan alat peraga. Banyak hal dipelajari di sini.“

Nurul tentu saja mendapatkan pengalaman baru yang tidak didapatkan di sekolah pada umumnya. Pengalaman mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengenali dan memperlakukan tubuhnya dalam kontruksi sosial maupun agama. Walhasil, dia mempunyai kontrol dan otoritas terhadap tubuhnya sendiri, dan lebih bijak mengambil keputusan yang berhubungan dengan seksualitas.

***
SEKOLAH itu digagas oleh Samsara, organisasi nonprofit di Yogyakarta yang berfokus pada isu aborsi. Menurut Inna Hudaya, sang Direktur, pendidikan seksualitas memang sudah waktunya diberikan secara terbuka. “Ini contoh sekolah khusus yang dirancang untuk meningkatkan akses terhadap informasi pengetahuan dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan.“

Gagasan pendirian sekolah dilatarbelakangi oleh tingginya angka kematian ibu, aborsi, HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang semakin meresahkan karena paradigma tradisional masyarakat yang menganggap permasalahan kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai topik yang tabu dan terbatas bagi kalangan tertentu. Akibatnya, pengetahuan tentang itu sangat minim.

Di sekolah ini tidak hanya diajarkan kesehatan seksual dan reproduksi tapi juga hak, kontruksi sosial, agama, dan budaya. Yang menarik, siswanya diajak “telanjang“ dalam arti membuka pikiran untuk menerima pelajaran sebagai sesuatu yang positif. Saat diajarkan mengenali tubuh, misalnya, dengan penyebutan organ reproduksi dengan nama yang sebenarnya. Ada juga materi pemeriksaaan kesehatan payudara, vagina dan serviks, pengetahuan mengetahui pola-pola perubahan tubuh, siklus menstruasi, hingga metode-metode kontasepsi. Yang jelas tidak ada kata tabu.

Dengan semakin terbukanya akses ter hadap informasi dan pendidikan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi, paling tidak paradigma tradisional di masyarakat dapat berangsur-angsur berubah. Dan yang penting kehamilan tidak diinginkan atau aborsi seperti yang terjadi pada Dian dapat ditekan.

***
KEHAMILAN tidak diinginkan kini menjadi fenomena di kalangan pelajar. Ini menimbulkan permasalahan yang kompleks.
Salah satunya tentu saja terkait erat dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang belum dipahami remaja. Mengapa mereka begitu rentan jatuh dalam masalah yang pelik ini?

Salah satunya, faktor derasnya arus informasi yang tak terbendung lagi. Buku, internet, film, teman, dan yang berhubungan dengan seks, mudah sekali diakses meski belum tentu benar dan lengkap. Akibatnya remaja seringkali mengadaptasi kebiasaan tidak sehat termasuk perilaku seksual berisiko tinggi.

Fakta mencengangkan bisa ditilik dari survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia, menyebutkan 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi. 62,7 persen pernah melakukan hubungan badan, 21 persen remaja telah melakukan oborsi. Serta 93 persen remaja pernah berciuman.

Sedangkan data WHO menunjukkan, jumlah kasus pengguguran kandungan atau aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta per-tahun. 30 persen dilakukan remaja.
Pencetus dari masalah ini kadangkala justru datang dari keluarga seperti ketidakharmonisan, sikap orang tua yang menabukan seks, serta lingkungan. Orang tua menjadi sulit berbicara mengenai seksualitas. Menyinggung masalah seks sedikit saja dianggap melanggar etika kesopanan, vulgar atau malah disambut dengan “bentakan“.
Bisa jadi orang tua menganggap tidak perlu diajarkan karena belum waktunya. Toh nanti akan mengetahui sendiri. Ini justru menjadikan mereka penasaran dan kemudian mencoba-coba. “Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali,“ ujar seksolog dr Boyke Dian Nugraha. Minimnya pengetahuan remaja tentang seks sudah jelas dapat kita lihat di atas, bagaimana Dian bahkan tidak mengetahui siklus menstruasinya dan tidak menyadari akibat melakukan hubungan seksual pranikah.

Seksualitas tentu bukan sekadar perkara hasrat dan hubungan seksual, namun berhubungan pula dengan tata nilai, keyakinan, pengetahuan, dan lingkungan. Jadi jelaskan dengan sederhana dan logis sesuai tingkat usia mereka dan dalam bahasa baik.(62) NONI ARNEE

Dimuat di rubrik Bebrayan harian Suara Merdeka,06.06.2010

Ingin Mengembangkan Batik Indonesia

Widjayanti

Senyumnya yang ramah terus mengembang dari bibir tipisnya. Sorot matanya juga berbinar meski usia hampir setengah abad. Dengan balutan gaun warna hitam, dia terlihat anggun petang itu.

Namanya Widjayanti, pengusaha batik dari Semarang ini justru mengepakkan sayap bisnisnya di Jakarta. Bahkan di sana, namanya mulai diperhitungkan.
”Ini baru pulang dari Pekalongan untuk persiapan pameran di Jakarta,” ungkap perempuan itu mengawali percakapan di sebuah kafe di kawasan Simpanglima. ”Sebagian batik saya memang diproduksi di Pekalongan.” Ya, akhir Mei ini, Widjayanti memang didulat Pemerintah Kota Jakarta Barat untuk mempersiapkan batik ”Betawi”.

Maksudnya, beberapa motif batik kreasinya yang menampilkan ragam hias berupa beberapa ikon khas budaya Betawi seperti ondel-ondel. Batiknya itu akan dipamerkan pada saat Pencanangan HUT ke-483 Kota Jakarta nanti.
Apa alasan Widjayanti menggarap Betawi sebagai tema batiknya? Dia bercerita, pada suatu pameran di Bunaken, dia bertemu orang-orang dari Pemkot Jakarta Barat yang ”menantang” dia untuk menciptakan motif batik yang secara langsung mencitrakan budaya Betawi. ”Saya terima saja. Bagi saya ini tantangan. Lagi pula, saya optimistis karena saya tahu dukungan mereka begitu besar,” ujarnya.

Ya, bukan perkara mudah untuk menembus pasar batik di Jakarta yang ketat dengan persaingan. Apalagi Widjayanti pemain baru dalam bisnis ini. Tapi ketika mendapat tantangan itu, dia datang ke ibukota untuk menawarkan dan memperkenalkan batik dengan motif baru. Batik yang motifnya sangat ”bukan Jawa”. Sebut saja, motif ondel-ondel, burung bondol atau tumpal khas betawi.

Hasilnya luar biasa, dukungan sepenuhnya muncul dari Pemerintah Kota Jakarta Barat .
Sejumlah pejabat teras di situ membantu mempromosikan dengan mengenakan batik kreasinya. Ini mendorong semangat Widjayanti untuk menggarap batik tulis yang eksklusif dengan menciptakan batik motif-motif khas betawi.
“Bukan hal mudah karena saya bukan orang Foto: Noni Arnee Betawi. Tapi saya yakin bisa melakukannya. Dan kalau orang Jakarta sudah memberi peluang besar seperti itu, kenapa saya tak menangkapnya?“ Sebagai pemain baru, Widjayanti mengenal batik secara otodidak. Tapi perempuan kelahiran Tegal, 20 Mei 1963 itu seorang pembelajar yang antusias. Ini buatnya memang bagian dari kon sekuensinya telah memilih menjadi pengrajin batik.
***
WIDJAYANTI tahu bahwa batik sudah diakui dunia sebagai satu warisan budaya bukan benda yang dimiliki Indonesia. Ini artinya, menurut dia, batik bukan bukan monopoli daerah tertentu. Benarlah bahwa selama ini ketika orang menyebut batik, orang melulu menyebut Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Lasem, dan belakangan Semarang. Tapi dia tak ingin terjebak pada batasbatas geografis seperti itu. ”Obsesi terbesar saya adalah mengembangkan batik Indonesia,” ujarnya lugas tanpa nada jumawa.
Nah, inovasi pertama kreasi batik Betawi-nya itu akan dijadikan titik tolak pengembangan kreasi batik Indonesia.
”Meski aku orang Semarang, aku kan juga orang Indonesia. Saya juga ingin membuat batik dengan motif-motif khas Semarang. Tapi saya juga ingin bikin batik gong-gong dari Batam, batik dari Lombok, atau batik sesirangan dari Kalimantan,” jelas istri Dekyanto Cokrosewoyo tersebut.

Barangkali, sikap seperti itu bak melawan arus. ”Saya siap. Dalam bisnis dan pengembangan sesuatu, pasti ada dinamikanya. Tak asyik kalau tak begitu. Tak ada tantangannya. Apalagi, banyak sekali orang yang mendukung upaya saya,” ujarnya sembari menyebutkan beberapa teman kuliahnya yang selalu mendukung dan menyemangati usaha perbatikannya antara lain Ellyza C Budi Asri, Evie Roosviati, dan Hj Fatimah.
Apakah menjadi pengrajin batik merupakan keinginan lama Widjayanti? Tidak. Semua berawal dari sebuah keisengan. Perempuan yang sebelumnya berprofesi sebagai sekretaris dan perias pengantin ini mengisahkan perjalanannya bagaimana ia melakoni bisnis yang baru lima tahunan ini dia geluti.
”Kalau sedang tak ada tugas merias, isengiseng saya bikin baju dari bahan batik. Awalnya sih ingin buat baju untuk diri sendiri. Kemudian saya tawarkan teman, ternyata kok payu (laku-Red).

Akhirnya, saya berpikir untuk serius membuat usaha konveksi baju dari bahan kain batik. Apalagi banyak teman yang mendorong saya melakukan itu,” Ketika tekadnya untuk serius membuat konveksi, Widjayanti memulainya dengan batik-batik jaman dulu atau zadul yang saat itu tengah booming di pasaran. Ia membuat baju-baju dari kain batik lawas. Untuk mencari kain batik lama ia rela keluar masuk loakan (penampungan pakaian bekas) di sejumlah pasar induk seperti Pasar Johar dan Bringharjo. ”Sampai blusukan, bahkan mendatangi rumah penjualnya untuk cari kain itu.” Dalam pikirannya, membuat baju dari kain batik lawas pasti akan menghasilkan sesuatu yang unik, eksotis, dan eksklusif. Baju-baju buatannya lalu dikirim untuk dipasarkan di Jakarta melalui temannya. Animo konsumen sangat bagus. Kain yang dibelinya dengan harga berkisar Rp 10 ribu itu laku dijual seharga Rp 300 ribu. ”Pokoknya waktu itu semakin zadul semakin laris,” katanya sambil tertawa.
Saat itulah dirinya mantap menekuni usaha batik dan perlahan meninggalkan profesinya sebagai perias.

Meski pasaran kain printing laris manis, Widjayanti terus mengembangkan produknya dengan menjajal kreasi dari batik tulis. Respons awal terlihat ketika ia diajak pameran oleh sebuah instansi pemerintah ke Batam. Kain batik motif ondelondel kreasinya ludes terjual. Hingga akhirnya ia mendapat tawaran untuk mengembangkan kreasinya itu. Bahkan batiknya dipercaya menjadi salah satu ikon kota Jakarta.
Untuk mengembangkan usahanya, kini ia berkolaborasi dengan anak perempuannya, Ayu Permatasari. ”Anak saya sekarang juga mulai mendesain model pakaiannya untuk batik kreasi saya. Kami saling mendukung,” ujar ibu dua anak ini.
Selain itu, dia juga ingin merealisasikan keinginannya memiliki gerai di Jakarta dan mempunyai pengrajin sendiri yang mengerjakan batik kreasinya. Apalagi investor sudah dia dapatkan untuk memajukan usahanya. ”Selama ini masih pakai pengrajin borongan,” Meski masih terkendala dengan permodalan, kini Widjayanti telah memiliki tiga unit usaha. Batik, konveksi DYKAbatik dan kelom Batik Widjayanti yang lebih menfokuskan pada batik etnik.
Semua hasil produksi batik milik Widjayanti, selain dipasarkan di Jakarta melalui beberapa kenalannya, juga dijajakan di gerai batiknya di Matahari Simpanglima, kantor-kantor pemerintah dan swasta, atau untuk memenuhi pesanan.
Namun, setelah mantap mengembangkan usahanya di Jakarta, Widjayanti justru belum berfokus untuk menggarap pasar Semarang.
”Yang penting sekarang berproses saja. Sebagai pengrajin, saya ini belum apa-apa, bahkan belum layak kalau disebut pengusaha batik. Tapi saya optimistis, bangunan usaha saya ini punya peluang bagus.” (73)

30.05.2010