5.15.2010

Sederhana Dan Bermakna

Doa bersama HUT Cempaka ke 21
”Sederhana namun Bermakna”

Pagi itu suasana di redaksi Tabloid Cempaka di jalan Merak nomor 11A Semarang sedikit berbeda. Ruangan yang setiap hari rabu selalu disibukkan dengan rutinitas deadline justru tampak tenang. Aneka makanan disajikan dengan nuansa lesehan, sementara di tembok ruangan tertulis banner besar tagline tabloid Cempaka yang baru. ”Cempaka lebih dekat makin akrab.”

Tamu-tamu undangan pagi itu juga mulai berdatangan. 7 April 2010 ini tabloid Cempaka genap berusia 21 tahun. Usia yang tak lagi remaja. Dan menginjak dewasa menurut ukuran umum.

Dan perayaan ulangtahun tidak harus dilakukan dengan suasana hingar bingar. Sederhana dan khidmah bisa menjadi pilihan. Ini yang dilakukan redaksi tabloid Cempaka untuk merayakan hari ulang tahunnya.

Dalam perayaannya, Tabloid Cempaka menggelar ”Doa Bersama HUT Cempaka ke-21”. Acara tidak hanya dihadiri seluruh jajaran menejemen umum, menejemen redaksi, dan para kontributor tabloid Cempaka yang tersebar diberbagai daerah di Jawa Tengah dan Surabaya, tapi juga perwakilan menejemen yakni Meneger Pembukuan Suara Merdeka Grup Kemad Suyadi, Dewan redaksi Suara Merdeka grup Prie GS, narasumber pengasuh rubrik, perwakilan Cempaka Fun Club (CFC), perwakilan menejemen beberapa hotel berbintang di Semarang, seperti Novotel, Horison, dan hotel Patra Convention, serta tamu undangan lainnya.

Dalam sambutannya Pemimpin Umum/ Perusahaan Tabloid Cempaka, Thobari HR mengungkapkan kebanggaanya bahwa di usia ke-21 ini tabloid Cempaka masih eksis dimata pembaca.
”Terimakasih kepada mitra dan pembaca yang tetap percaya kepada Cempaka,”ungkapnya.
Menurutnya, lima tahun lalu tabloid Cempaka masih disebut sebagai tabloid yang berada pada masa transisi. Artinya lebih melayani pembaca dengan karakter yang semi tradisional. Manun kini tabloid Cempaka telah melirik untuk melayani pembaca yang modern dan dinamis.
Kondisi itu terlihat pada kurun waktu satu tahun terakhir ini dimana perwajahan, corak dan tulisan yang dimuat dalam rubrikasi Cempaka menunjukkan semangat modern dan dinamis. Proses mendekati sasaran atau target utama Cempaka.

”Lima tahun lalu dan sekarang sudah jauh berbeda, bisa dilihat dari kapabilitas tabloid yang lebih jelas. Isinya bisa mewakili keinginan pembaca,” tambah Thobari.

Namun meski begitu, tren ke depan harus tetap diperhatikan dengan jeli. ”Pembaca tidak lagi seperti dulu yang mengususng nilai ”kebersamaan”. Kini pembaca justru cenderug lebih individulaistik,” imbuhnya.

Dan Cempaka harus mampu terus menyesuaikan. Pembaca harus terlayani dengan perubahan seperti itu.

Thobari menambahkan, persaingan media saat ini sangat ketat. Namun hal itu tetap bisa diantisipasi dengan adanya kerjasama dengan berbagai pihak, sehingga tetap bisa meluas dan menyebar dengan cepat.

Pesan akhir dari Pemimpin Umum yakni, bahwa tabloid Cempaka tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menghibur dan mendidik masyarakt , tapi juga harus berfungsi sebagai kontrol sosial.

”Cempaka diharapkan juga bisa mengkritik hal-hal yang perlu dibenahi. Misalnya dalam rubrik kesehatan yang memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang suatu tema tertentu,”

Acara pun dilanjut dengan doa yang dipimpin Koordinator Liputan Tabloid Cempaka A. Ibnu Thalhah. Doa untuk pendiri Suara Merdeka Grup dan memohon keberkahan serta keberlanjutan Cempaka

Dan diakhiri dengan pemotongan tumpeng oleh Pemimpin Umum Thobari HR. Potongan tumpeng yang diterima Pemimpin Redaksi Hasan Fikri ini juga sebagai penanda pergantian kepemimpinan Hasan Fikri untuk membawa kapal Cempaka menuju kesuksesan.

Sementara, Pemimpin Redaksi Hasan Fikri mengutarakan, usia 21 tahun adalah usia kematangan menuju profesionalitas dan kematangan media. Momen yang tepat untuk bekerja lebih keras mencapai target-target yang sudah ditetapkan

”Ini saat mencari penghidupan sendiri dengan menunjukkan kualitas kerja dan kualitas diri,” ungkapnya.

Jadi teruslah berinovasi karena pembaca selalu berubah dan berkembang sesuai dinamika masyarakat.

Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, pada ulang tahun ke-21 ini Tabloid Cempaka juga memberikan penghargaan kepada reporter Cempaka ter-produktif selama satu tahun terakhir ini. Dua reporter yang mendapatkan penghargaan yang diserahkan oleh Pemimpin Redaksi Hasan Fikri didamping Meneger Umum Cempaka Sunarto adalah Muharno Zarka (kontributor Wonosobo) dan Yaslan (kontributor Salatiga).

Acara pun ditutup dengan makan bersama dan ramah tamah. Sederhana, namun bermakna. Itulah yang tersirat dalam doa bersama peringatan HUT Cempaka ke 21. di usianya menuju kedewasaan dan kemandirian. Selamat ulang tahun Tabloid Cempaka. (Non)

Melelahkan Tapi Menyenangkan

Rosa Darwanti,SH.MSi
-Ketua Tim Penggerak PKK Kota Salatiga-


Melelahkan tapi menyenangkan. Itulah kesan yang dirasakan Rosa Darwanti (54), sebagai ketua tim penggerak PKK Kota Salatiga.
”Sangat melelahkan untuk memotivasi dan mengajak orang melakukan pekerjaan sosial,” ujar istri orang nomor satu di Kota Salatiga ini mengaku, ketika seringkali kesulitan melakukan pengkaderan pengurus dan anggota Pemberdayaan & Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang dipimpinnya.

Menurutnya, saat ini PKK masih dikonotasikan bahwa organisasi ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang tua, ajang ”kumpul-kumpul” dan arisan saja. Padahal anggapan itu salah besar. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keluarga bahagia, sejahtera, maju dan mandiri seperti yang tertuang dalam 10 Program Pokok PKK.

Karena itu untuk menghilangkan banyak anggapan miring, perempuan yang aktif di banyak organisasi ini rela terjun langsung hingga ke tingkat paling bawah seperti PKK di RT.

”Terkadang punya pemikiran lebih jauh kedepan, tapi repotnya jika tidak diimbangi dengan kader lain,”

Terlebih lagi ada kecenderungan, organisasi dapat berjalan jika didukung sarana dan prasarana. Sebelum era reformasi sangat mudah untuk menjalankan program karena di sokong kalangan birokrasi.
”Sekarang semua tergantung ketua, jadi kadang ”tombok”, tapi menyenangkan. Karena itu yang bertahan dan aktif ya hanya orang-orang yang senang,” kata ibu tiga anak ini.

Di tangan perempuan yang terjun di dunia politik sebagai Ketua Badan Legeslatif DPRD Kota Salatiga 2009-2014 dan Wakil ketua DPD Partai Golkar ini, PKK Kota Salatiga sendiri mempunyai 4 program unggulan yang dilaksanakan bersinergi dengan program yang sudah dicanangkan PKK pusat. Diantaranya Penyediaan Posyandu Lansia di tingkat RW dan senam tera yang kini telah memiliki 45 sasana yang tersebar di 4 kecamatan.

Program kedua, mendirikan Taman Bacaan Mini (TBM). Sebagai tindak lanjut dari program gemar membaca yang dicanangkan PKK pusat. Ia mentargetkan di tiap kelurahan sudah tersedia layanan ini.

Ketiga, program Lingkungan Bersih Sehat (LBS). Program ini dilaksanakan sebagai komitmen untuk menjadikan Kota Salatiga menjadi kota yang bersih dan nyaman. Untuk mendukung program tersebut juga dibentuk Forum Kota Salatiga Sehat (FKSS). Ia juga sebagai ketua. Dan yang terakhir adalah Pengentasan Gizi Buruk.

Kerja keras mewujudkan program unggulan ini dapat dilihat dari sejumlah prestasi dan penghargaan yang digondol Kota Salatiga baik di tingkat kota, propinsi hingga nasional. Diantaranya juara 2 lomba Bayi Sehat, juara 2 lomba Cipta Menu dan juara harapan 1 lomba Cipta Batik di tingkat propinsi.

Penghargaan yang paling membanggakan ditahun 2009 saat Kota Salatiga diganjar ”Swasti Saba ”. Predikat sebagai kota sehat di Indonesia oleh Depertemen Kesehatan RI.

Menurutnya, Kota Salatiga satu-satunya kota di Jateng yang mendapat penghargaan itu. ”Prestasi ini juga tidak lepas dari peran masyarakat,”,” kata Rosa yang juga menjadi pengajar di Kampus Biru STIE ”AMA” Salatiga.

Ia menambahkan, sebenarnya, tujannya tidak berlebihan untuk mencari penghargaan di tingkat nasional misalnya, tapi lebih termotivasi ingin menumbuhkan kesadaran warga untuk bersih.

Kini semangat Rosa pun menular di tubuh kader PKK dibawahnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya inisiatif warga di 4 kecamatan yakni kecamatan Argomulyo, Tingkir, Sidorejo dan Sidomukti untuk mengembangkan potensi yang ada di desanya. Seperti
pengembangan diversifikasi pangan dengan mengolah makanan non-beras. Seperti mengolah pelepah pisang, daun nangka untuk dijadikan aneka masakan.
Juga menggelar berbagai kegiatan dan perlombaan yang disesuaikan dengan momen, seperti hari kartini, lomba senam tera masal, lomba masak.

Setiap program butuh dukungan sarana dan prasarana. Karena itu selain partisipasi masyarakat, perempuan kelahiran Solo ini juga punya kiat jitu agar program-program unggulan dapat terealisasi.
” Selain tokoh-tokoh masyarakat, istri kepala dinas juga dilibatkan . Karena kalo tergantung saya ya repot, saya kan tidak bisa bekerja sendiri. Jadi harus saling dukung untuk kepentingan bersama,”

Banyaknya pengangguran di Kota Salatiga juga menjadi keprihatinan tersendiri bagi perempuan yang mengaku tidak bisa diam ini.
”Notabenenya saya juga istri walikota. Jadi apa yang saya lakukan tidak ada ”gong” nya kan malu dengan masyarakat. Jadi harus selalu ada gebrakan,”

Terobosan terbaru yang baru dilakukan tahun lalu adalah pembinaan terhadap para pengangguran dikotanya dengan melibatkan Dinas Tenaga Kerja Kota Salatiga.

”Pengangguran didata kemudian dikumpulkan dan diberi pelatihan ketrampilan singkat seperti pelatihan bengkel, rias, teknisi, atau boga,”
Mereka di kursuskan di Lembaga Pendidikan Ketrampilan LPK secara gratis yang nantinya disalurkan ke bidang pekerjaan yang sesuai. Mereka juga diharapkan
dapat menciptakan lapangan kerja sendiri.

Selain itu juga sejalan dengan dengan seruan presiden untuk menggali potensi budaya lokal. Meski tidak memiliki sejarah batik, Salatiga mulai mengembangkan batik Plumpungan. Watu rumpuk di Plumpungan selama ini menjadi ikon kota Salatiga dijadikan ciri khas batik asal Salatiga.

”Kita mulai perkenalkan batik Plumpungan lewat pameran dan promosi di tingkat propinsi maupun nasional, atau kita kenalkan pada tamu dari luar kota maupun luar daerah yang datang,”

Meski mempunyai kesibukan yang luar biasa padat sebagai Ketua di beberapa organisasi kemasyarakatan, terjun ke dunia politik dan mendampingi John W. Manoppo sebagai istri walikota, perempuan yang masih nampak segar dan cantik tetap mempriorioritaskan perannya sebagai ibu dari Retsi Imagodei Manoppo (26), Gloria Bernadine Manoppo(23) dan Riliasari Geraldine Manoppo (15).

”Tidak ada kata mama sibuk, biasanya saya jam 2-3 sore pasti sudah ada di rumah, kecuali ada agenda tertentu seperti mendampingi suami sebagai orang nomor satu di kota salatiga.

Besar dari lingkungan ABRI membiasakan perempuan yang punya hobi makan sebagai sosok yang mandiri apalagi ia anak tunggal. Dan kemandirian itu diterapkan kepada 3 anaknya. Bahkan ia mengaku tidak begitu menyukai protokoler kecuali acara resmi. Ia juga lebih suka bepergian sendiri tanpa pengawal. ”Saya biasa pergi kemana-mana sendiri dan nyetir sendiri”

Ia juga menjaga komunikasi yang intens dengan ketiga buah hatinya. Lantas bagaimana jika kebetulan kegiatan yang harus dihadiri bersamaan.
”Mana yang prioritas pasti saya dahulukan. Memang berat, jangan dibayangkan tapi dijalani saja,”tandasnya

Satu tahun terakhir menjelang habis masa kepengurusan sebagai ketua, ia berharap semua program tercapai. ”Target LBS dan Taman baca harus tercapai.Jadi kalau pensiun harus ada kenang-kenangan,” ujarnya sambil tersenyum.

Sebelum mengakhiri obrolannya dengan Cempaka sore itu di rumah dinas walikota di Jalan Diponegoro Salatiga, Rosa berbagi resep rahasia keberhasilannya melakukan berbagai aktifitasnya saat ini.
”Semua ini berkah, jadi enjoy melakukan semuanya meskipun ada masalah, dan syukuri apapun yang diberikan pada Tuhan,” tandas perempuan berkacamata ini. (Non)

-Tabloid Cempaka-

5.13.2010

Jilbab Fitri

Suara canda tawa anak-anak terdengar dari rumah bercat putih di kawasan Kumudasmoro Bongsari Semarang, minggu (21/2) siang. Di rumah orang tuanya inilah Fitri biasa menghabiskan waktu libur bersama keluarga besar.

Tak ada yang mengenal Fitri Cahyaningsih (33) sebelumnya, hingga pekan lalu keberaniannya membuat ia menjadi bahan pembicaraan dibanyak media. Fitri mengadu ke gedung berlian karena merasa mendapat diskriminasi ditempatnya bekerja.

”Ga kepikiran bakalan kerja di rumah sakit,” kenang Fitri mulai menceritakan awal meniti karir di rumah sakit yang mendapat sertifikat ISO 9001:2008 dari badan sertifikasi ISO 9001 yang dikeluarkan VNZ New Zealand itu.

Pun tidak ada prestasi yang menonjol dari perempuan yang hidup di lingkungan yang cukup religius ini. Perjalanan hidup ibu dari Aylia Mahrensha (11) dan Alvina Mahaswara (7) sebenarnya terbilang lurus-lurus saja.
Setelah lulus dari sekolah kejuruan di kawasan Semarang Timur, Fitri memilih bekerja ketimbang melanjutkan studi yang lebih tinggi. Keinginan mandiri dan tidak bergantung dengan orang tua maupun saudaranya membuat Fitri mengambil keputusan itu.

”Tidak mau merepotkan, apalagi kami ini kan orang kecil. Jadi saya milih kerja saja, padahal waktu itu diterima tes PMDK di IKIP” katanya.

Sekolah kejuruan ternyata memberinya bekal dan peluang untuk mendapatkan kerja lebih cepat. Ia pun menyebar surat lamaran ke beberapa perusahaan dan tempat yang membutuhkan.

Toko roti, menjadi tempat Fitri mengawali hidup mandirinya. Ia juga sempat berpindah ke beberapa toko roti di Semarang. ”Kirim lamaran kemana-mana. Waktu itu sering berpindah kerjaan..ya buat pengalaman, mumpung masih muda,” ujar Fitri.

Hingga akhirnya surat panggilan tes dari rumah sakit Telogorejo Semarang datang 13 tahun yang lalu. Satu dari sekian banyak surat lamaran yang disebar Fitri waktu itu.

”Lamaran itu udah lama, dulu ngelamarnya ya dibagian gizi. Ternyata dipanggil dan dites lolos. Tiga bulan training langsung jadi karyawan,”

Fitri tidak perlu melewati masa kontrak.Waktu itu, rumah sakit tempatnya bekerja belum sebesar sekarang, jadi proses menjadi karyawan jauh lebih mudah.

Tidak ada yang istimewa menjalani pekerjaan di bagian gizi yang kesehariannya berkutat dengan makanan pasien. Bahkan tak banyak yang tahu seperti apa pekerjaan di bagian gizi disebuah rumah sakit.

Fitri menggambarkan kesehariannya yang dilakoni sejak pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang. Setiap hari kesibukannya diawali dengan membuka buku besar untuk mengecek jadwal dan daftar makanan seluruh pasien di ruang Cempaka rumah sakit Telogorejo, sebelum mengambilnya dari dapur besar. Daftar pasien dan menu makanan yang kadang selalu berbeda setiap harinya.

”Sepertinya sepele tapi agak njelimet jadi butuh ketelitian. Bahkan yang sudah bekerja beberapa tahunpun kadang masih sering mengalami kesulitan. Harus menyiapkan makanan 30 sampai 40 pasien dengan menu berbeda setiap hari.”

Ketelitian dan kesabarannya ia peroleh sewaktu ia bekerja di bakery. ”Dulu kan kerjanya dibagian hias kue tart, jadi musti sabar n telaten,”ujar Fitri.

Pekerjaannya itupun membuat ia selalu berinteraksi dengan pasien. Menghadapi pasien dengan berbagai macam karakter pun sudah biasa. ”Biasa, ada yang curhat atau komplain soal makanan, tapi itu standar yang harus diberikan jadi kita harus memberikan pengertian,” tambahnya.

*****

Sekitar 4 tahun yang lalu Fitri mulai mengenakan kerudung. ”Alhamdulillah mendapat hidayah,” ingat Fitri.
Tapi meskipun telah merubah penampilan menjadi lebih islami, Fitri terpaksa harus melepas kerudungnya saat bekerja.
“ Bongkar pasang jilbab karena di tempat tugas saya harus lepas jilbab. Banyak kok teman-teman yang seperti itu, bahkan jauh sebelum saya pakai,” akunya.

Awalnya menurut Fitri biasa saja, terlebih banyak juga teman-teman melakukan hal yang sama. ”Enggak apa-apa, kerja kan juga ibadah,”

Seiring dengan semakin kuatnya keimanan dan teguran beberapa orang yang mengenalnya melihat ia melepas kerudung saat bekerja membuatnya jengah. Hingga akhirnya, awal tahu lalu ia membulatkan tekad dan meminta izin menggenakan jilbab ketika bertugas.

Ini awal Fitri berpolemik dengan manajemen tempatnya bekerja.”Pakai jilbab kok di bongkar pasang, seperti main-main, makanya saya ijin tapi ditolak,” kata Fitri.

Fitri berkali kali dipanggil manajemen rumah sakit dan dilarang bertugas. ”Selama 3 minggu itu enggak ngapa-ngapain. Setiap datang, saya hanya duduk di teras house keeping. Sampe saya cari kesibukan, baca buku-buku agama. Bacaan itu yang menguatkan dan anggap ini cobaan, pakai jilbab juga tidak mengurangi kualitas kerjaan saya,”

Sampai akhirnya pihak keluarga memberi jalan untuk mengadukan nasibnya kepada wakil rakyat di DPRD. ”Waktu itu saya ga tahu musti ngadu kemana, namanya juga orang kecil,” alasan Fitri, hanya ingin kejelasan dengan segala resiko yang akan ditanggungnya nanti.
Kini Fitri sudah kembali dengan rutinitas semula, plus dengan mengenakan jilbab. Namun begitu ia masih menunggu kejelasan aturan boleh atau tidaknya memakai jilbab di lingkungan kerja dari pihak RS Telogorejo.
”Saya pasrah saja nanti keputusannya seperti apa, yang terpenting saya sudah membulatkan tekad dengan keyakinan saya. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk saya dan teman lainnya yang juga berjilbab ”harap Fitri mengakhiri pembicaraan.(Non)

******

Dirut RS Telogorejo, Imelda Tandiyo :

Sebagai institusi layanan kesehatan, tujuan yang utama meningkatkan layanan kesehatan kepada masyarakat. Sehingga semua kebijakan yang diterapkan dirumah sakit selalu berkaitan dengan kepentingan pasien, ungkap direktur utama RS. Telogorejo Semarang Imelda Tandiyo.
”Ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antar manajemen dengan serikat pekerja, diantaranya keharusan berpenampilan sesuai standar penampilan RS Telogorejo, seperti larangan penggunaan tutup kepala,”

Kesepakatan itu biasanya ditandatangani saat kali pertama masuk bekerja, baik oleh perusahaan maupun karyawan. ”Jadi ini sudah menjadi kesepakatan bersama maka harus dihormati,’’ katanya.

Menurutnya, karyawan yang tidak mematuhi aturan itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran yang diterapkan secara internal. Seperti halnya dengan Fitri Cahyaningsih.

”Menurut PKB, yang melanggar harus ditindak tegas. Kalau tidak, akan muncul protes yang lainnya. Dalam kasus Fitri kami masih memberikan kelonggaran, tidak menon-jobkan. Hanya dipindah ke bagian administrasi,’’ tutur Imelda Tandiyo, saat dengar pendapat dengan komisi E DPRD Jateng, Jumat (19/2).

Pemindahan sementara itu katanya dilakukan hingga permasalahan selesai ditindaklanjuti pihak yayasan. Namun imbuhnya, Fitri justru mengadu ke DPRD Jateng sebelum masalahnya tuntas.

”Per-tanggal 17 Februari, masalah ini diambil alih yayasan. Fitri juga dikembalikan pada pekerjaannya semula”

Untuk mencari solusi terbaik, pihaknya akan konsultasi ke Departemen Kesehatan mengenai standarisasi atribut tenaga kesehatan pada saat bertugas.

‘’Perawat, tenaga medis maupun dokter aturannya banyak sekali. Seperti pakaian tidak boleh panjang selengan, tak boleh mengenakan jam tangan,”

Pelarangan itu menurutnya, supaya tidak membawa kuman penyakit yang bisa berakibat fatal pada pasien. ”Banyak pertimbangan kesehatan dalam melayani pasien.’’ tandasnya.(Non)
******

KH. Syamsul Maarif
Koordinator Forkagama

Masalah yang menyangkut SARA menjadi hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat, sehingga polemik yang terkait hal itu harus secepatnya di redam dan tidak berbuntut panjang.

Hal ini diungkapkan Koordinator Forkagama (Forum Komunikasi Antarumat Beragama) Semarang, KH. Syamsul Maarif menangapi permasalahan yang terjadi antara pihak manajemen rumah sakit Telogorejo dengan salah satu karyawannya, terkait aturan pelarangan penggunaan penutup kepala seperti jilbab.

Menurutnya, penyelesaian masalah tersebut harus dilihat dari beberapa perspektif, baik secara hukum, keimanan, maupun psikologis.

”Jadi ada keseimbangan, karena pada dasarnya sebagai pelayan publik tidak membedakan. Hubungan manajemen dengan karyawan sama seperti halnya ketika rumahsakit menerima pasien. Tidak ada diskriminasi,” katanya.

Jika mengacu UU Ketenagakerjaan, secara hukum memang tidak ada yang bisa dijadikan landasan untuk melarang menggunakan jilbab. Ketika dikonfirmasi, katanya pihak manajemenpun secara eksplisit tidak melarang hal itu.

”Harus ada kejelasan, sehingga tidak muncul Fitri-Fitri yang lain,” tambahnya.(Non)

Yang Pergi

Eko Budiyanto(34) tak menyangka jika pertemuannya dengan rekan sesama wartawan televisi Yudhi Sutomo (43) di sebuah warung internet langganan minggu (31/1) pagi di kawasan Banyumanik akan berakhir tragis.

****
”Hari ini ada Konfercap PDIP, bisa jalan ga?”, isi pesan pendek dari Yudhi yang mampir ke telepon genggam Eko mengajak liputan. Beberapa kali telepon dari Yudhi tak sempat dijawabnya. Meski semalam mengeluh kelelahan, pagi itu Eko tetap bekerja, setelah mendapat pesan singkat dari koresponden SCTV itu.

Selain karena wilayah tugas mereka sama, di kabupaten Semarang dan sekitarnya, sebagai sesama wartawan televisi, keduanya memang sering bersama dan berbagi informasi agenda liputan. Terlebih lagi Eko masih terbilang baru terjun menjadi wartawan TV. Baru 4 bulan bekerja di Semarang TV.

Keduanyapun bertemu ditempat biasa di warung internet langganan di kawasan Banyumanik, membicarakan agenda liputan hari itu. Undangan dari narasumber untuk meliput launching Koran "Ibu" milik Taman Bacaan Warung Pasinaon, Bergas Lor, Kabupaten Semarang, membuat mereka pergi lebih cepat. ”Mo liputan acara launching koran ”ibu”, kenang Eko lirih.

Mereka akhirnya memutuskan segera pergi. Yudhi membonceng sepeda motor Grand milik Eko seperti biasanya. Kemudian keduanyapun meluncur dari arah Ungaran menuju Karangjati.

Ternyata kondisi jalur di Ungaran minggu (31/1) pagi itu yang padat merayap sedikit memperlambat perjalanan mereka. Sementara panitia penyelenggara terus saja menelepon dan meminta mereka segera datang ke acara membuat Eko harus sesekali mendahului kendaraan yang ada di depannya agar cepat sampai tujuan.

Namun tepat saat melintas di depan dealer Suzuki Langensari Jl Jenderal Sudirman, tiba-tiba dari arah belakang kendaraan Eko di tabrak truk tronton.

’’Saya akan mendahului kendaraan beriringan, tiba-tiba motor ditabrak dari belakang oleh truk tronton. Saya terjatuh dan terseret sekitar 100 meter,’’ jelas Eko.

Akibat kecelakaan itu, Eko mengalami luka serius pada kaki kanannya, luka sobek pada bagian paha, pelipis, dan wajah. Ia sempat pingsan saat terseret truk. Sementara Yudhi meninggal dunia di lokasi dalam kondisi yang cukup mengenaskan.

Supir truk tronton enggan bertanggungjawab. Setelah mengetahui truknya menabrak motor mereka, ia langsung melarikan diri. Dan hingga kini supir masih dalam pengejaran pihak kepolisian.

Nasib eko lebih baik dibandingkan rekannya, meski kini Eko harus kehilangan kaki kanan.

Firasat
Dua hari pasca kecelakaan, Eko masih terbaring lemah. Ia juga masih kesulitan menggerakkan tubuhnya. Meski operasi untuk memperbaiki syaraf kaki kanan yang rusak sudah dilakukan. Ditemani sang istri, eko menjalani proses penyembuhan dan pemulihan. Eko belum bisa diajak banyak bicara.

”Harus banyak istirahat, karena suhu badannya belum stabil. masih sering panas,” ucap Sri Haryanti istri Eko saat di temui Cempaka di ruang Anyelir 101 Rumah Sakit Tlogorejo Semarang.

Minggu siang paska kecelakaan, Eko langsung dirujuk ke rumahsakit tersebut, agar cepat mendapat penanganan.

”Takutnya kalau mengalami gegar otak juga, tapi alhamdulillah tidak ada keluhan, jadi paling seminggu lagi bisa pulang dan rawat jalan.” imbuh Sri.

Sri haryanti kemudian menuturkan jika dua hari sebelum kejadian, ia sebenarnya sudah merasakan akan terjadi sesuatu. Selama 2 hari berturut-turut ada kejadian yang mengganggu pikirannya. Seperti firasat.

”Saya megang gelas pecah terus sampai dua kali. Trus waktu bikin minuman untuk mas Eko , gelasnya bentet (retak). Sebelumnya saya juga mimpi kalau saya tiba-tiba nggandeng monyet. Entah itu artinya apa saya juga tidak begitu ngerti,” cerita Sri.

Kejadian itu tidak pernah disampaikan kepada suaminya. Hingga ia akhirnya mendapat khabar dari saudaranya bahwa suaminya mengalami kecelakaan saat bertugas.

Keresahan juga dirasakan Eko pernah diutarakan kepada rekannya beberapa waktu lalu.
”Motorku wis ga enak rasanya, harus di servis,” kata Rita Wahyu Wijayanti, Redaktur berita Semarang TV menirukan kata-kata Eko beberapa waktu lalu

Menjadi wartawan
Eko adalah tulang punggung keluarga. Ia dikaruniai dua anak perempuan berumur 10 tahun dan 4 tahun. Sedangkan istrinya seorang ibu rumah tangga. Sepuluh tahun lebih menjalankan usaha bengkel sepeda motor di desa Kedungdowo Campurejo Boja, Gunungpati tak membuatnya berpuas hati.
Bahkan ia mengaku kepada istrinya jika ia bosan dengan usaha yang dirintis dari nol itu dan ingin beralih profesi agar kehidupannya lebih baik.

Hingga suatu ketika datang seorang teman menawarkan pekerjaan sebagai wartawan di sebuah majalah.
”Bosen, kalau jadi wartawan banyak temennya, bisa ketemu banyak orang,”ucap Sri menirukan perkataan suaminya.

Mungkin saja menjadi seorang wartawan menjadi keinginan terpendam. Eko mencoba terjun di dunia wartawan yang penuh dengan tantangan. Bekerja di majalah ditekuni sekitar 8 bulan, hingga suatu ketika Sari menyaksikan ’running text’ lowongan reporter disebuah stasiun televisi lokal di semarang.

”Akhirnya coba-coba masukin dan lolos. Tapi pertama magang dulu selama 3 bulan,” kata Sri

Meski berat, Sri mendukung pekerjaan baru Eko. Menjadi wartawan televisi yang wilayah liputannya di daerah kabupaten Semarang dan sekitarnya
Eko mulain masuk di Kabupaten Semarang saat liputan arus mudik di wilayah hukum Polres Semarang. Sebagai orang ’baru’, bisa dibilang Eko cukup gesit.

"Agenda apa Bos," itulah SMS yang sering ia kirim kepada saya. Ia bergerak cepat jika ada berita menarik,” Ucap syukron, wartawan elshinta.

Pekerjaan sebagai wartawan memang tidak menjanjikan. Namun pekerjaan itu ia tekuni.Ada kebanggaan tersendiri. ” Seneng kalau liat berita dari kabupaten, itu pasti beritanya mas Eko,” kata Sri.

Kini dengan keterbatasannya, ia mengaku belum memiliki rencana kedepan. Keinginannya untuk terus menjadi seorang ’kuli tinta’ akan terhambat. ”Belum tahu, liat kondisi nanti gimana,” ucap Eko lirih.

Senior
Berbeda dengan Eko, Koresponden SCTV, Yudhi Sutomo bisa dibilang wartawan senior yang sudah cukup lama malang melintang di dunia kewartawanan di Jawa tengah. Hampir semua wilayah telah dijelajahi. Sebelum bertugas di kabupaten Semarang dan sekitarnya pertengahan tahun lalu, selama 12 bulan terakhir, ia bertugas di wilayah pantura timur Demak, Kudus, Pati, Jepara, Grobogan, Blora, Rembang.

Pengagum Freddy Mercury dan Michael Jakson ini dikenal sebagai sosok yang religius, pendiam dan cerdas. ”Yudhi saya kenal sebagai sosok yang dewasa, bicara hanya hal yang penting saja. Ia juga kreatif dan cerdas, dengan hasil gambar yang ia ambil meski kadang sederhana, ia mampu membuat narasi yang bagus, hingga beritanya tak pernah ditolak oleh redaksi,” kenang M.Syukron yang tiap hari selalu mendapat pesan singkat dari Yudhi menanyakan agenda liputan.

Jauh dari keluarga dan anak-anak menjadi resiko yang harus di jalani.

Kerinduan dan ekspresi kecintaan terhadap buah hatinya seringkali terucap lewat situs jejaring sosial Facebook miliknya. Berkali-kali tertulis keinginannya untuk membahagiakan anak-anaknya.
”Saya sedang memikirkan kerjaan saya,dan saya ingin membahagiakan anak-anak saya. saya juga punya gaya hidup yang unik llllloooooo...... saya kerja banting tulang dan sukanya nangiiiisss melulu.Namanya Syadilla,Icha Andro,” begitu yang tertulis di facebook miliknya.
Khabar kecelakaan yang merenggut nyawa Yudhi sangat mengejutkan rekan-rekan wartawan yang mengenalnya. Semua kenangan baik dengan almarhum tergambar di situs facebook Yudhi.

Kini Yudhi telah berpulang. Ia meninggalkan istri dan dua anak yang masih kecil-kecil. Anak pertamanya kini masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar.

Ini menulis pesan terakhir yang tertulis di Facebooknya pada pukul 23.11 WIB kepada buah hatinya ”jangan tidur dulu tunggu papa......(Non)

5.08.2010

Cerita Dari Negeri Syuhada

dr. Nur Farhanah
-Kisah satu dari segelintir relawan perempuan Indonesia di Gaza-

Tidak pernah terbayang sebelumnya akan menginjakkan kaki di Gaza, Palestina. Angan-angan yang selama ini hanya ada dimimpi menjadi kenyataan. Bersama tim relawan Mer-C, menjalankan misi kemanusiaan menjadi relawan medis di negara konflik itu. Dr. Nur Farhanah, membagi pengalamannya kepada KARTINI

Tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Palestina telah menyentakkan hati dr. Nur Farhanah. Terlebih lagi setelah ia tahu kekejaman Israel dari televisi dan buku-buku soal konflik yang terjadi di tanah yang dijanjikan itu.

Siapa sangka perempuan kalem berusia 38 tahun ini punya tekad sangat kuat. Bahkan tekadnya telah tersimpan dalam angan-angan dan mimpi bisa menginjakkan kaki di bumi syuhada Palestina. Dengan satu tujuan. Jihad Fii sabilillah.

Jalan menuju Palestina itu terbuka ketika suatu hari di bulan Januari 2009, suaminya dr. Abdul Mughni mendapat kesempatan bergabung menjadi relawan medis MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), sebuah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis. Suaminya akan diberangkatkan ke Palestina.

Bak gayung bersambut, tanpa pikir panjang, Nur Farhanah menyatakan keinginannya. Ikut menjadi relawan. Padahal Ia tahu bahwa perempuan sangat tidak memungkinkan untuk diberangkatkan. Alasannya, karena faktor keselamatan dan sebelumnya belum punya pengalaman.

Akhirnya keinginannya disampaikan Ketua Presidium Mer-C dr. Jose Rizal Jurnalis yang saat itu masih berada di Mesir.
Setengah jam yang menegangkan menunggu persetujuan dr. Jose Rizal berakhir dengan cucuran air mata bahagia. Ia bisa bergabung dengan tim lanjutan menggantikan tim 1 yang sudah bertugas 2 bulan di Palestina. ”Memang sudah jalannya, semua seperti dipermudah,” akunya.

Meski sebelumnya tidak mudah meyakinkan suami dan keluarga besar. Nur Farhanah merasa menjadi salah satu orang yang beruntung bisa pergi ke Palestina, karena tidak semua orang bisa kesana.

Ia bahkan merasa kepergiannya menjadi relawan medis seperti sudah dipersiapkan Allah. Pasalnya kepengurusan administrasi paspor dan visa yang biasanya sangat lama, bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari saja. Ia dan suami hanya butuh persiapan selama 5 hari menuju Palestina
”Urus pasport cuman 6 jam bisa selesai, bahkan dapat rekomendasi dari pihak imigrasi,”

Tanggal 24 januari 2009 Nur Farhanah bersama suami berangkat ke Palestina. Dan empat orang lainnya yang tergabung dalam tim medis Mer-C, yakni dr. Arief Rachman, dr. Dany Kurniadi Ramdhan, Abdillah Onim dan Bambang.

Tenang dan pasti. Kepergiannya di iringi seluruh keluarga besar. ”Mereka ikhlas mengantar saya, seperti seolah-olah mengantar kematian yang terencana,” kenangnya.
Bahkan Ia sempat membuat surat wasiat jika tidak kembali ke tanah air.

Meski semua dokumen lengkap, ternyata tidak semudah membalikkan tangan menjangkau Palestina. Berbagai pemeriksaaan ketat sejak di bandara pun dilalui.

Ia bersama tim harus bersabar agar bisa melewati perbatasan yang menghubungkan antara Mesir dan Palestina. Menunggu tiap siang hingga sore di perbatasan yang ditutup rapat dengan pintu besi dan dijaga ketat sampai diijinkan untuk masuk.

Musim dingin yang menusuk tulang dan suara dentuman bom serta pesawat tempur seperti menyambut kedatangan dan ingin mengingatkan untuk tetap waspada. Akhirnya setelah 3 hari menanti, tim berhasil melewati perbatasan. Tentunya dengan prosedur yang sangat ribet.

Semua yang memasuki perbatasan harus menandatangani beberapa lembar surat pernyataan yang berisi ”Tidak akan menuntut pihak manapun jika terjadi sesuatu”.
Barang bawaan berupa tas ransel seberat 80 liter berisi pakaian, kebutuhan pribadi dan alat medis dipanggul sendiri.
”Kami sudah tidak memikirkan hal itu, karena tekad sudah bulat.” lanjutnya.

Memasuki kawasan Palestina harus ekstra hati-hati karena tidak tahu mana kawan dan mana lawan. Tim juga dilarang keras untuk bepergian sendirian, karena dikhawatirkan menjadi sasaran tembak pasukan Israel. ”Kalau salah omong bisa fatal.” ungkapnya.

Banyak hal yang mengharukan dan memilukan selama perjalanan lebih kurang 45 menit dengan bus menuju Gaza.
Sisa-sisa kekejaman Israel tergambar jelas didepan matanya. Daerah subur dimana sepanjang jalan penuh dengan kebun buah jeruk dan apel rusak. Tidak hanya itu, jejak-jejak kekerasan nyata terlihat dipanjang perjalanan. Gedung-gedung, rumah , masjid dan sekolah hancur akibat di bom.

”Tapi kami disambut hangat warga Palestina. Mereka lebih ramah dibandingkan orang Mesir yang bertampang sangar. Itu cukup melegakan,” ujar perempuan kalem ini.
Mereka menganggap sebagai saudara dan senang dengan orang-orang dari segala penjuru dunia yang datang untuk membantu.

Selama di Gaza, tim medis berada di Rumah Sakit Asy-Syfa, rumah sakit terbesar di Gaza yang juga menampung seluruh relawan dari penjuru dunia. Ini menjadi rumah sakit pusat bagi korban perang maupun sakit lainnya.

Menjadi relawan tenaga medis di bidang internist atau penyakit dalam sedikit menguntungkan, karena pasien yang ditangani tidak berkaitan langsung dengan korban perang. Pasiennya sebagian besar adalah pasien gagal ginjal atau jantung

Meskpun begitu, ia tetap saja harus waspada karena seluruh gerak geriknya selalu diawasi dan dipantau.

”Tengah malam kamar kami digedor orang tak dikenal yang mencari dan mencurigai sesuatu,” cerita Farhanah.
Sambil menyorongkan senjata mereka seperti tengah mencari sesuatu di kamar. Waktu itu ia sekamar dengan dua orang relawan perempuan lain asal Indonesia, namun mereka hanya beberapa hari di Palestina dan kembali ke Indonesia lagi.

”Jantung rasanya mo copot mendengar suara sepatu boot mereka. Dua malam berturut-turut mereka menggedor pintu kamar,”
Entah apa yang mereka cari. Nur farhanah juga tidak pernah tahu.
Desingan peluru, bom dan getaran di seluruh bangunan rumah sakit karena bom, menjadi pemandangan sehari-hari.
Menurutnya, ini pengalaman yang paling menakutkan, selama berada di Gaza. Meski ia melihat warga Palestina dan anak-anak nampak biasa saya menyaksikan hal itu. Bahkan anak-anak masih sempat terlihat bergerombol menuju sekolah untuk belajar.
”Ironis sekali,” kata farhanah.

Satu minggu kemudian tim mendapat kabar bahwa perbatasan akan ditutup dan relawan harus segera keluar. Akhirnya diputuskan Ia dan suami keluar, sementara empat orang lainnya memilih bertahan. Prosedur kepulangan-pun tak kalah sulit seperti ketika masuk Palestina.

Buat Nur Farhanah ini adalah perjalanan spiritual yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, bahkan kadang masih tidak percaya bisa sampai di Palestina. ” Kok bisa sampai disana, bener ga ya...kayak mimpi,” akunya sambil menerawang.

Niat Jihad
Sebelum berangkat ke Palestina, Nur Farhanah dan suami mempunyai karir dan penghidupan yang mapan di kota Sukabumi. Keduanya bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta di kota itu. Suami spesialis bedah sedangkan ia spesialis penyakit dalam.

Namun , semua itu ditinggalkan ketika tekad menuju Palestina di depan mata. ”Pihak rumah sakit tidak mengijikan kami pergi. Jadi kami memilih keluar”.
Keduanya juga tidak memikirkan akan menjadi pengangguran sepulang dari Palestina, yang direncanakan selama 2 bulan.

Pertaruhan masa depan demi misi kemanusiaan pun mereka jalankan. Terlebih lagi sejak dulu Nur Farhanah memendam keinginan untuk pergi ke Palestina. Selain Mekkah dan Madinah.

”Mungkin aneh ya..cita-cita kok ke Palestina, bukan ke Perancis atau Inggris”
Tapi keyakinan kuat selalu melekat pada dirinya. Pasti ada kesempatan ke Palestina jika punya keinginan.

Nur Farhanah selalu menganggap tanah Palestina punya keistimewaan.
”Secara nalar ga mungkin saya bisa kesana,”

Ketika Mimpi Menjadi Nyata
Alangkah indahnya ketika mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Mungkin ini yang dirasakan Nur Farhanah.

Keberangkatan ke Palestina sudah diimpikan sejak lama. Motivasinya hanya satu. Ingin berjihad di jalan Allah. Terlebih lagi ketika tahu tragedi perang Palestina akibat kekejaman tentara Israel.

Impian itu seperti melekat terus dalam benaknya. Bahkan seminggu sebelum keberangkatannya ke Palestina, ia sempat bermimpi.

”Saya mimpi berangkat ke Palestina dan merasa mencium tanah Palestina.” Namun mimpi itu tidak pernah ia sampaikan kepada siapapun, termasuk kepada suami. Hingga seminggu kemudian ia benar-benar pergi ke Palestina.

”Ketika sampai di Palestina, saya mencium bau tanah seperti apa yang ada dalam mimpiku waktu itu,”

Bagi Nur farhanah perjalanan ke Parlestina dianggapnya sebagai ujian ke ilmuan dan ujian pribadi

Solidaritas mereka juga sangat tinggi. Meski mereka berada dalam kekurangan, mereka selalu berbagi dan bersedekah.
”Saya masih ingat, ada anak Palestina yang tiap sore selalu membeli teh untuk saya. Padahal ia tidak punya uang,”

Kepulangan dari Palestina membawa hikmah yang luar biasa bagi Nur Farhanah dan suami. Tidak sempat menjadi pengangguran, keduanya diterima menjadi pegawai negeri sipil di Universitas Diponegoro Semarang sebagai staf pengajar. Selain mengasuh putra pertama yang baru berusia satu tahun, kesehariannya dihabiskan bersama mahasiswa dan menangani pasein di rumah sakit umum dr. Kariadi Semarang.

”Saya berhasil menjalani ujian dari Allah, banyak sekali hikmah yang saya ambil dari Palestina”

-Majalah Mingguan Kartini-

BIODATA
Nama : Nur Farhanah
Lahir : Jerman, 7 April 1972
Suami : Abdul Mughni
Anak : Dafa M Farhan (1 tahun)
Pendidikan : Spesialis Penyakit dalam FK Undip Semarang
Kerja : Staf Sub bagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK Undip / RSUP Dr. Kariadi Semarang