10.25.2010

"Kebebasan" Itu Memunculkan Konflik

Baru seumur jagung mimpi gadis keturunan Belgia Aurelie Moeremans (17) menjadi aktris, kini gadis itu sering menghiasi layar kaca karena pemberitaan miring. Ia ”tersandung” perselisihan dengan ibu kandungnya Sri Sunarti.

Bahkan ia nekad mengadu ke kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena merasa ”dikekang” dan dilarang pacaran dengan Robby Tremonti, pria yang berusia11 tahun lebih tua darinya.

”Aku terlalu sering diatur. Sebagai anak yang menginjak dewasa, aku tidak ingin di kekang,” tutur bintang film D’Love itu.

Kehidupan glamor dan pergaulan di dunia selebritis yang dia lakoni merasa ”diganggu” ibundanya. Namun, tidak hanya Aurelie yang ”berteriak”. Sang kekasih pun cawe-cawe memojokkan sang ibu.

Kebebasan yang diinginkan Aurelie pun harus dibayar mahal. Hubungan ibu-anak ini menjadi tidak harmonis. ”Dulu aku suka curhat dengan ibu. Tapi sekarang sudah enggak lagi. Sudah menjauh dan aku lebih suka tinggal di apartemen,” tutur dara yang merasa sudah cukup dewasa dan layak berpacaran ini.

Meski mengaku tertekan, hati kecil Aurelie menyadari bahwa tindakan orang tuanya dilakukan demi kebaikannya.

Setali tiga uang dengan Aurelie, aktris belia Arumi Bachsin (16) juga pernah melakukan hal yang sama. Dara keturunan Belanda-Palembang sempat ditampung di Komnas Perlindungan Anak dan bermalam di Polres Jakarta Selatan. Ia ”kabur” dari rumah lantaran Maria Lilian Pesch melarangnya berpacaran.

Sebagai ibu, Maria memang memberikan aturan yang telah disepakati Arumi. ”Saya kira setiap keluarga mempunyai aturan. Kalau kami minta Arumi untuk pacaran saat usianya lebih 17 tahun, saya pikir itu lumrah dan wajar. Arumi juga menyepakatinya,” ungkap
nya.

Menurut ibundanya, meskipun Arumi sudah dewasa dan mempunyai manajer sendiri, bukan berarti sang mama cuek saja. “Aku tidak melepas Arumi. Saya juga manajer Arumi selamanya karena aku mamanya, dia anak perempuanku,“ imbuhnya.
Mari kita longok Pasal 1 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak: “bahwa anak adalah seseorang yang belum genap berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.“

Jadi, Aurelie Moremans dan Arumi Bachsin masih tergolong anak di bawah umur.
Rupanya Aurelie tak sabar menggapai “kebebasan“ yang diinginkan. Berbeda dengan Arumi yang kemudian mengaku mendapat pelajaran berharga selama berselisih paham dengan ibunya. “Sudah sadar, menurut aku semua itu ada saatnya,“ ujar Arumi.

***
KONFLIK anak dan orang tua seperti yang dialami Aurelie Moremans dan Arumi Bachsin hanyalah contoh kecil konflik yang terjadi dibanyak keluarga. Menurut psikolog, Lita Widyo Hastuti SPsi MSi, hal itu terjadi karena adanya pergeseran pola asuh orang tua terhadap anak. Pada beberapa dekade lalu, anak masih cenderung mengikuti dan patuh dengan pola asuh orang tua. Namun seiring dengan waktu dan pesatnya perkembangan teknologi infomasi, muncul fenomena bahwa anak zaman sekarang mempunyai keberanian untuk menunjukkan keinginannya. Anak mulai menganggap bahwa orang tua tidak selalu benar sehingga mempunyai keinginan untuk melawan. Kondisi ini juga didukung oleh pola asuh orang tua yang lebih modern dan membebaskan anak.

“Dulu budi pekerti masih cukup kental diajarkan anak-anak, tapi di era globalisasi pelan-pelan hilang. Apalagi bersosialisasi dan bergaul dengan dunia luar sehingga anak lebih bisa menyatakan ekspresinya atau keinginannya. Dulu tidak seperti itu.”

Dosen pengajar Pendidikan Seksualitas, Psikologi Perkembangan, Psikologi Keluarga, dan Diagnosa dan Terapi Remaja Unika Soegijapranata Semarang ini menilai bahwa konflik antara orang tua dengan anak khususnya anak yang menginjak remaja, sebenarnya merupakan hal yang lumrah terjadi di mana pun. Bahkan semua konflik yang terjadi antara kedua belah pihak ini tidak selamanya mengakibatkan atau mempunyai sisi negatif.

”Bisa positif karena anak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya kepada orang tua. Namun kadarnya sedapat mungkin dijaga supaya tidak berlebihan dan tidak merugikan kedua belah pihak. Konflik pasti muncul, sudah seperti hukum alam.
Karena itu konflik sebaiknya dikelola menjadi sesuatu yang lebih dinamis,” ungkap Lita.

Pada umumnya, anak ”berseberangan” dengan orang tua terjadi ketika anak memasuki masa puber. Pada masa itu emosi anak menjadi lebih rentan dan tidak terkontrol. “Anak sering melihat dari `kacamatanya' sendiri dan orang tua melihat `kau ini anakku'. Dari situlah muncul ketidaksepahaman yang mengakibatkan konflik.“

***
JADI, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan orang tua untuk mempererat hubungan dengan anak. Yang pertama dengan melatih kepekaan anak untuk berempati terhadap orang lain. “Anak bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.“
Kedua, melibatkan anak dalam aktivitas orang tua melalui pembiasaan-pembiasaan kecil agar muncul kebersamaan. “Misalnya, orang tua sedang repot maka si anak diajarkan untuk bersedia membantu.“

Cara lain yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan “memasuki“ dunia anaknya, tanpa bertindak sebagai pengontrol. “Coba masuk ke dunianya, misalnya dengan menanyakan aktivitas anak tanpa bermaksud menyelidik atau mendikte dan membuat anak merasa tidak nyaman.“

Lita mengakui, bahwa sebagian besar kasus pertikaian yang terjadi antara anak dan orang tua sangat sulit diselesaikan karena kedua belah pihak lebih menonjolkan egonya dan tidak ada mediator yang membantu menyelesaikan konflik mereka.
“Mediator membantu berbicara secara personal dengan keduanya untuk memberikan pemahaman dan menurunkan ego.
Caranya bisa dengan mengingatkan hal-hal atau momen berharga di antara mereka.“
Selain itu, agar pola asuh lebih fleksibel, Lita juga menganjurkan agar orang tua menerapkan pola layang-layang. “Tarik-ulur".Dilepas tapi suatu saat ketika diperlukan harus ditarik. Jadi, ada batas untuk si anak mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.“

Pendidikan budi pekerti untuk membangun karakter (character building) anak juga mutlak diperlukan. Sejumlah sekolah internasional dan sekolah terpadu sudah menerapkan hal itu dalam kurikulum sekolah.

Namun lanjut Lita, pelajaran budi pekerti dalam kurikulum sekolah tidak terlalu penting, karena percuma kalau pelajaran budi pekerti diajarkan namun hanya menghasilkan angka-angka.

“Budi pekerti percuma kalau disampaikan hanya dalam wujud kognitif. Yang terpenting penerapannya. Orang tua dan guru satu sama lain secara tidak langsung harus menunjukkan pesan moral ke dalam pelajaran atau kehidupan sehari-hari karena mereka sudah dianggap sebagai role model atau contoh langsung yang bisa dilihat anak.“(62)

NONI ARNEE

Bebrayan 031010

1 komentar:

Jean-Marc Moeremans mengatakan...

Tst,tst,tst...
1980/10/30 = "... pria yang berusia 13 tahun lebih tua darinya " !!! Sudah bohong !!! Lihat ini full story + foto benar-benar : Kak Seto, Hadi Supeno, Roby Sutanto ( "Tremonti" ) : http://www.roby.tremonti.webobo.biz/html.php?id_menu=3510199